Tuesday, March 11, 2008

Terlanjur Tidak Perawan

Jadi perawan tua memang tidak enak, tapi janganlah lalu asal tabrak. Lihat nasib Ersanti, 29 tahun, dari kota Solo ini, cari pacar tidak pakai selidik, hantam kromo saja. Akbatnya bagaimana? Sudah terlanjur menyerahkan uang dan goyangannya, Giman, 35 tahun, malah minggat. Kalaupun ada keuntungan, Ersanti kini bukan perawan tua lagi, karena memang terlanjur sudah tidak perawan!

Untuk sistem nilai sekarang, sebetulnya gadis usia menjelang kepala tiga seperti Erwanti ini tidak perlu cemas. Banyak yang berumahtangga pada usia 35 tahunan, nyatanya rumahtangganya tetap rapi jali, punya anak secara normal. Lihat itu si lesung pipit Maya Romantir, atau bupati Kebumen Dra Rustriningsih. Dus karena itu, baru usia 29 tahun tak perlu mbebeki kuatir dianggap perawan tua!

Agaknya Ersanti termasuk yang demikian. Dia cemas karena hingga kini belum kambon lanangan (baca: punya pacar). Padahal secara pisik dan penampilan, dia tidak mengecewakan. Bodi dan wajahnya tergolong cantik. Berdandan tak pernah ketinggalan. Apa lagi dia punya salon sendiri di Jalan Hasanudin, Margoyudan, sehingga mau 10 kali creambath atau facial dalam sehari, juga bisa.

Dalam status tanpa pacar apa lagi suami, kadang ada juga yang tega meledek Ersanti sebagai perawan kadaluwarsa. Kalau diibaratkan sebuah produk makanan, pemilik salon itu sudah habis masa edarnya. Paling enak dimasukkan keranjang, lalu dikemas dan buat parcel tahun baru. “Kalau jadi nikahpun, suaminya pasti pingsan karena terlanjur minum susu kadaluwarsa,” kata sejumlah pemuda sambil ketawa-ketiwi.

Alhamdulillah, tak semua cowok berpandangan negatif pada Ersanti. Salah satunya adalah Giman, pemuda yang tinggal di Kabangan, Kecamatan Lawiyan. Kenal pertama dengan gadis itu ketika dia ke salonnya dalam rangka potong rambut. Kebetulan yang mengerjakan Ersanti sendiri, sehingga sambil bekerja bisa ngobrol ngalor dan ngidul. Tutur kata pemuda yang ternyata bernama Giman itu sangat santun, jauh dari sikap meledek si perawan kadaluwarsa.

Hari itu ke salon Ersanti, lain hari Giman ternyata datang lagi. Entah mau potong rambut yang mana lagi, yang jelas Ersanti menerimanya dengan gegap gempita. Lebih dari status konsumen dan pedagang. Buktinya, Ersanti kemudian mau diajak jalan-jalan keluar, sementara salon diserahkan pada anak buahnya. Jalannya pun ngewak-ewakake (bikin cemburu), sepertinya orang se Solo dia sendiri yang punya doi.

Giman ternyata berhasil menaklukkan Ersanti. Meski latar belakang kehidupannya belum begitu jelas, gadis pemilik salon itu menerimanya sebagai pacar. Buktinya lain hari makin sering saja keduanya bepergian bersama. Bahkan meski baru status pacaran, mereka berani masuk hotel. Maka di tempat itulah, keperawanan Ersanti yang selama ini belum tersentuh, hari itu mrotholi (tanggal). “Tapi sampeyan tanggung jawab, kan Mas?” kata Ersanti agak ragu.

Oh itu jelas, begitu jawab Giman yang sudah entuk-entukan. Lain waktu hubungan layaknya suami istri itu kembali digelar di hotel, dan selanjutnya menjadi sebuah rutinitas bak suami istri. Asal pengin Giman tinggal kontak, dan kemudian keduanya masuk hotel. Prinsip keduanya: milikku ya milikmu, milikmu ya milikku juga.

Rupanya, Giman memacari Ersanti bukan tujuan, tapi sekadar jalan. Buktinya setelah pemilik salon itu berhasil ditaklukkan, dia kemudian rerasan kurang modal untuk buka usaha toko. Karena terlanjur percaya dan cinta, Ersanti tak curiga dan keberatan ketika Giman meminjam uangnya sebanyak Rp 45 juta. Uang hasil menabung selama ini diberikan begitu saja tanpa tanda bukti dan jaminan.

Edannya Giman, setelah menerima duit tersebut dia tak pernah nampak batang hidungnya ke rumah Ersanti. Apa lagi “batangan”-nya, juga prei tak pernah dinikmati Ersanti lagi. Padahal sebelum dapat uang yang Rp 45 juta tersebut, sepertinya Giman tak pernah puas. Kemarin sudah dilayani, masih datang lagi. Pokoknya njukneh dan njukneh (minta lagi).

Ngenes memikirkan uang dan kehormatannya, Ersanti lalu melacak ke Kabangan. Dia ternyata di sana hanya kos bukan pemilik rumah. Lemeslah gadis pemilik salon itu. Harta yang selama ini ditabung, hilangh dalam sekejap. Yang paling menyedihkan, kehormatannya juga sudah terlanjur digondol si trondolo Giman. Kalau sudah begini, ke mana lagi kalau tak melapor ke polisi.

Giman selalu berhasil, kan begitu kata iklan Palmboom tahun 1960-an.

1 comment:

Erik santosa said...

hidup adalah perjalanan ...
maka langkahkan saja kakimu...
dan lewatilah hari2mu