Thursday, December 3, 2009

RUMAH DAN PENEGAKAN BURUNG

Antara rumah dan burung sesungguhnya tak ada hubungan sama sekali. Tapi di Banyuwangi, gara-gara rebutan rumah warisan, “burung” Sugomo, 55, jadi tak bisa berdiri akibat diracun Rufikah, 27, keponakannya. Kini di saat orang rame bicara penegakan hukum, Sugomo malah repot soal penegakan “burung”.

Minggu-minggu ini orang memang masih rame soal penegakan hukum. Mungkin ada kaitan dengan program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu-II, aparat kepolisian dan kejaksaan juga sibuk berupaya untuk penegakan hukum bagi masyarakat akar rumput. Di Banyumas Mbah Minah diadili karena mencuri 3 buah biji kakao, lalu di Kediri Kholil dan Basar juga terancam masuk penjara gara-gara nyolong buah semangka. Begitu pula di Batang (Jateng), sekeluarga juga ditangkap karena mencuri kapuk randu perkebunan.

Sugomo lelaki warga Desa Tembokrejo Kecamatan Muncar, Banyuwangi, juga dengar kabar semacam itu. Tapi dia sama sekali tak mau peduli. Boro-boro ngurusi soal penegakan hukum, lha wong di sendiri juga masih sibuk soal penegakan “burung” miliknya. Gara-gara keracunan setelah makan di warung ponakan sendiri, “burung” kesayangannya jadi tak bisa bernyanyi trilili lili lagi. “Ini namanya pembunuhan karakter, eh kather (alat vital)….!” kata Sugomo kesal.

Boleh dikata Sugomo ini memang lelaki kandhang langit kemul mega (tak punya tempat tinggal). Oleh sang Rufikah keponakannya, dia lalu ditampung di rumahnya, yang juga rumah warisan orangtuanya. Bangunan tersebut memang pada awalnya ditempati Sugomo di masa kecil, ketika masih bersama adiknya yang juga ibunya Rufikah. Tapi karena perjalanan nasib, Sugomo tak lagi punya keluarga dan tempat tinggal, sehingga akhirnya numpang di rumah lama yang kini jadi hak keponakan.

Mungkin Sugomo ini tipe lelaki yang tak mengenal budi, susu dibalas dengan air tuba. Setelah sekian lama tinggal di rumah ponakan, pada perkembangan selanjutnya ada usaha untuk menguasai rumah warisan itu. Tentu saja Rufikah tak merelakan rumah itu dikuasai oleh pamannya. Bukankah dia dulu sudah memperoleh warisan yang lain? Adapun kok sekarang Sugomo tak punya rumah, itu bukan urusannya. Kalau mau, itu malah urusan Pak Suharso Monoarfa, Menteri Perumahan KIB-II.

Rupanya serius sekali Sugomo hendak menguasai rumah warisan itu, sehingga Rufikah pun serius sekali hendak melenyapkan sang paman. Entah diberi campuran apa, setelah sarapan pagi sepulang melaut, Sugomo langsung klepek-klepek keracunan. Beruntung, berkat obat tradisional berupa minuman air kelapa hijau, nyawa Sugomo masih bisa diselamatkan. Nyawannya masih bisa diperpanjang lagi entah sampai tahun berapa. “Jangan-jangan Rufikah memang sengaja meracuniku,” pikir Sugomo dalam hati.

Dia bersyukur pada Tuhan, karena nyawanya tak jadi lepas dari badan. Tapi yang kemudian membuatnya panik, setelah lewat masa kritis tersebut, kini Sugomo merasakan “burung” miliknya tak lagi bisa berdiri. Pagi hari yang biasanya selalu “bernyanyi” trilili lili….. menyambut udara pagi, kini diam membisu seribu basa. Dia sudah berusaha dengan segala cara untuk penegakan burung itu, tapi tak juga membawa hasil. Mulailah dia cari kambing hitam menjelang Idul Qurban. Rufikah yang diduga telah meracuni dirinya, pasti itulah yang jadi biang keroknya.

Dengan membawa sebilah clurit, dia unjuk kekuatan di warung Rufikah. Melihat pamannya bawa clurit dengan wajah ditekuk, segera dia menyelamatkan diri. Gagal memperoleh sasaran, Sugomo lalu mencabik-cabik dinding bambu warung itu dengan cluritnya. Polisi Polsek Muncar pun lalu menggelandangnya ke kantor polisi. “Gara-gara diracun ponakanku, burung milik saya tak bisa berdiri lagi, Pak….!” ujarnya polos sambil menuding ke bawah perutnya.

Apa iya, coba lihat sebentar Mas!