Tuesday, December 1, 2009

LELAKI ITU BERNAMA ANGGODO

Agaknya kebencian orang pada Anggodo Wijaya belum juga surut. Di Sukoharjo (Solo), tukang selingkuh bernama Mugodo, 50, terpaksa diberi nama Anggodo seusia diarak warga. Pasalnya, meski terbukti nyata menyetubuhi bini orang, dia dibiarkan melenggang pergi dari tuntutan hukum pidana.

Ternyata soal penegakan hukum tak hanya menjadi wacana masyarakat kota besar. Penduduk kampung yang jauh dari pusat pemerintahan, rupanya juga termasuk masyarakat akar rumput yang gandrung clean governance (pemerintahan bersih). Mereka juga ikut terusik manakala ketidakadilan terjadi di wilayahnya. Mereka muak ketika sosok Minah yang hanya mencuri buah coklat 3 biji ditelateni, diadili; sedangkan Anggodo Wijaya yang melecehkan aparat penegak hukum, bebas lepas tak diapa-apakan.

Ini agak berbeda dengan Mugodo, warga Desa Palur Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo. Sementara orang di mana-mana bicara soal penegakan hukum, dia malah sibuk urusan penegakan ……”burung”! Bagaimana tidak? Beberapa malam lalu dia kepergok para tetangganya tengah hendak menyetubuhi Ny. Nunik, 40, yang sedang ditinggal suami menjadi TKI di manca negara. Betapa tega dan hina wanita itu, sementara suami jadi tenaga kerja luar negri, dia malah rela menjadi ajang penyaluran “tenaga kuda” milik tetangga.

Kebutuhan perut dan yang di bawah perut, bagi manusia normal memang sangat berbanding lurus, termasuk juga kaum hawa. Maka orang Jawa punya ungkapan, istri tak hanya butuh mamah (makan) tapi juga mlumah (baca: pemenuhan libido). Dan Ny. Nunik, termasuk yang sedang pusing masalah beginian, karena lama tak begituan! Ibarat ayam babon (induk ) ayam kampung, dia sudah siap ndheprok (jongkok) mana kala ayam jantan mendatanginya. Jika pinjam istilah gaul anak ABG sekarang, Nunik pasti akan bilang: hallo cowok, godain gue dong…..!

Aksi rindu lelaki Ny. Nunik memang tidak sebegitu nyata. Tapi Mugodo lelaki tetangganya di Desa Palur, mampu menangkap sinyal-sinyal asmara itu demikian nyata. Sebagai lelaki berpengalaman yang sudah termasuk kategori jalma limpad seprapat tamat (orang pintar cepat menangkap maksud seseorang), langsung tahu maksud Nunik. Padahal secara phisik dan anatomi, sosok istri Daldiri, 47, ini termasuk kategori yang enak dikeloni dan perlu. “Tunggulah, aku siap berlomba-lomba dalam kemesuman,” kata Mugodo.

Hari-hari tengah malam, Mugodo suka mendatangi rumah Nunik diam-diam. Awalnya hanya silaturahmi antar tetangga, tapi setelah dianya memberi angin, Mugodo pun segera masuk. Secara hukum, jelas itu dalam posisi lampu merah, apa lagi kini belok kiri juga tidak boleh langsung. Tapi karena imbauan asmara itu semakin nyata, jadi juga Mugodo merapat ke ranjang cinta. Walhasil, aset nasional Nunik yang selama ini hanya dipersempahkan untuk suami, kini diberikan pada lelaki tetangga. Itulah hebatnya Mugodo, dia juga bisa ngatur-ngatur orang macam Anggodo Wijaya.

Sekian lama keluar masuk rumah Nunik, kegiatan Mugodo tercium warga. Maka Nunik pun diingatkan jangan lagi-lagi memasukkan lelaki ke dalam rumahnya. Tapi rupanya prinsip penegakan hukum kalah dengan prinsip penegakan burung. Jadi meskipun diancam warga, masih juga Nunik membawa Mugodo ke atas ranjangnya. Sampailah pada kejadian Minggu malam lalu, saat keduanya sedang “warming up” untuk olahraga non PON, tahu-tahu digerebek warga.

Amarah warga tak terbendung lagi. Langsung Ny. Nunik dan Mugodo diarak rame-rame dalam kondisi pakaian berantakan, mau dibawa ke Balai Desa. Saking malunya jadi tontonan warga, bini Daldiri ini pingsan seketika. Praktis proses hukum jadi agak terhambat. Dengan pertimbangan itu pula, skandal Mugodo – Nunik hanya diselesaikan secara kekeluargaan. Itu artinya, lelaki pecundang itu boleh pulang bebas. “Wah, Mugodo memang Anggodo Wijaya…..!” gerutu warga tak puas.

Yang beda: Anggodo soal hukum, Mugodo soal…..burung!

No comments: