Tuesday, March 11, 2008

Menggunting Dalam Sarung

Cinta muda-mudi itu hanya indah pada awalnya. Tapi ketika sudah menjadi suami istri, cintanya akan berubah menjadi “ikan asin”. Tak percaya? Lihat pengalaman pasangan rumahtangga Dian - Bardan dari Nganjuk (Jatim) ini. Meski rumahtangganya berangkat dengan cinta, ketika suaminya nganggur terus Dian bosan juga sehingga milih kawin lari bersama suami orang!

Ihal rumahtangga yang kandas di tengah jalan ini dimulai ketika Dian, 24 tahun, sekitar 5 tahun lalu terkena penyakit buta cinta. Maksudnya, biar pemuda Bardan, 30 tahun, kala itu belum punya pekerjaan, cintanya tetap saja selangit. Bahkan dia bertekad siap melarat bersama si doi, yang penting cintanya difinishkan di KUA. “Masa orang selamanya akan nganggur terus,” begitu dia berprinsip.
Nenek, orangtua dan paman-bibi sudah mengingatkan agar Dian berfikir dua kali mengambil Bardan yang penganggur itu sebagai suami. Sebab kepala rumahtangga haruslah punya pegangan, jangan hanya bisa megang-megang doang. Sebab ketika anak telah hadir, dia memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit, baik itu untuk sandang, pangan dan pendidikan. Indonesia bukan negeri Belanda yang menjamin rakyatnya yang sedang menganggur.
Tapi Dian memang diancuk tenan (kurang ajar). Katanya lebih baik mati daripada tak jadi istri Bardan. Nah, daripada nantinya jadi tenggur alias meteng nganggur, keduanya pun dinikahkan. Lalu untuk kehidupan sehari pasangan dari Desa Bajulan Kecamatan Brebek itu tetap menjadi beban mertua. “Tapi ingat, dana kompensasi ini hanya bersifat sementara,” begitu kata orang tua Dian.
Apa yang dikuatirkan orangtua ternyata nemahi (terbukti). Meski sudah menjadi kepala keluarga, Bardan masih setia dengan kepenganggurannya. Ironisnya, dia punya nafsu tak juga mau nganggur, sehingga baru dua tahun menjalani kehidupan rumahtangga, dua anak telah lahir dari perut Dian. Maklum mau cari hiburan lain tak punya duit, akhirnya “hiburan”-nya ya cuma dari itu ke itu melulu.
Akhirnya Dian pun juga mulai goyah dari prinsip. Karena malu terus-terusan terima dana kompensasi non BBM, dia lalu berusaha buka warung kopi depan rumahnya. Karena wajah dan bodi Dian masih paten, banyak lelaki yang menjadi pelanggannya. Maklum, selain bisa minum kopi mereka juga bisa main colek dan senggol pada Dian yang berbodi yahud itu. “Pisang goreng satu Rp 5.000,- nggak apa, tapi kan dapat senyum Dian yang legit,” begitu prinsipnya.
Tamin, 34, adalah seorang pegawai negeri yang jadi pelanggan warung Dian. Lantaran sudah akrab, istri Bardan ini kemudian suka curhat akan rumahtangganya yang tak harmonis. Pak PNS yang mulai tertarik justru berusaha menggunting di dalam sarung. Buktinya dia malah membujuk agar cerai saja dari Bardan lalu kawin siri dengannya. Prinsipnya: bersamaku semuanya bisa!
Ironisnya, bujukan itu membuat Dian lherrrr. Sebagai wanita yang sudah lama tak memperoleh perhatian dan kasih sayang dari suami, tak bisa menampik ketika dapat “siraman” cinta yang penuh perhatian dan keperkasaan. Bayangkan bersama Bardan paling seminggu sekali baru nemu, dengan Tamin dia diberi kapan saja dengan sepak terjang yang ruarrrrr biasa.
Kelanjutannya, Tamin mengajak kawin siri saja karena sebagai pegawai negri tak mungkin berbini dua. Dian yang sudah demen menurut saja. Maka di suatu malam yang sepi dan dingin-dingin empuk, bini Bardan itu dibawa lari ke kota Nganjuk dan dikawin siri.Tamin-Dian lalu tinggal serumah di rumah kontrakan. Pemilik warung itu sudah lupa dengan anak-anaknya, apa lagi dengan kopi tubruknya. Karena setiap hari sudah “ditubruk” mas Tamin.
Akan halnya Bardan, tentu saja tak terima atas kenekadan Tamin. Bagaimana mungkin, “kendaraan” masih ber-STNK/BPKB atas nama dirinya, kok dicemplak seenaknya saja. Masa, masih sah bini orang kok enak saja dikawini, pakai kawin lari lagi. Tak terima atas pelecehan dan penghinaan tersebut, Bardan lalu melapor ke Polsek Brebek, minta Tamin ditangkap karena melarikan bini orang.
Habisnya, kamu jadi suami bisanya hanya petentang-petenteng, sih!

No comments: