Agaknya Hamid, 45 tahun, termasuk peselingkuh berdarah dingin. Habis kencan dengan bini tetangga bisa-bisanya dia nyantai di ruang tamu rumah Ny. Hani, 41 tahun, rekanan selingkuhnya. Keruan saja kepergok suaminya. Ironisnya, dia yang salah malah dia pula yang galakan. Badri, 48 tahun, suami Hani dibabat golok. Yang kasihan si Maman, 4 tahun, berusaha mencegah kebidadaban pacar gelap ibunya malah kena bacok di mata dan kepalanya.
Hamid dan Hani memang sedang menjalin asmara di bawah tanah. Disebut demikian karena keduanya memang bukan lagi sosok yang bebas merdeka. Di rumah Hani memiliki suami dan sejumlah anak, sementara Hamid juga memiliki “kendaraan” sendiri di rumah. “Ini kan sekadar selingan, masak makan sayur asem melulu di rumah,” begitu kita Hamid yang juga diamini oleh Hani.
Hamid dan Hani memang sedang menjalin asmara di bawah tanah. Disebut demikian karena keduanya memang bukan lagi sosok yang bebas merdeka. Di rumah Hani memiliki suami dan sejumlah anak, sementara Hamid juga memiliki “kendaraan” sendiri di rumah. “Ini kan sekadar selingan, masak makan sayur asem melulu di rumah,” begitu kita Hamid yang juga diamini oleh Hani.
Memang, Hamid memperoleh “sayur asem” di rumah juga bukan berdasarkan pilihan sendiri, karena hanya droping dari atas. Dus karena itu, dia belum bisa mencintai bininya tersebut, meski sejumlah anak lahir juga dari perut si sayur asem itu. Makanya sejumlah teman suka meledek Hamid sebagai lelaki munafik. Katanya tidak sayang, tapi hampir setiap malam digoyang. Malah bila si istri sedang males, Hamid memaksa dengan banting pintu segala.
Akan halnya Hani begitu juga. Badri sesungguhnya juga bukan suami pilihan. Hani merupakan korban proyek “Siti Nurbaya” di era gombalisasi. Dia dipaksa menikah dengan lelaki yang mengejar-ngejarnya di kala masih SMP dulu. Yang membuat Hani terhibur, di samping kepasrahan jiwanya menjalani nasib, sang suami bisa memanjakan segala kebutuhan duniawi. Rumah bagus mobil mewah, semua tersedia. “Nggak salah kan, aku memilihkan jodoh untukmu,” kata ortu Hani menyaksikan “kebahagiaan” putrinya.
Merasa senasib sepenanggungan, Hamid dan Hani klop jadinya. Apa lagi keduany tinggal bertetangga di Kelurahan Tanurejo, Balikpapan (Kaltim). Mereka ingin melampiaskan dendam masa lalunya, ingin menggapai masa mudanya yang hilang percuma. Hamid dan Hani juga sama menyadari bahwa semua ini sekadar iseng.
Untuk serius, keduanya berfikir dua kali. Hamid tak bisa mengorbankan anak istrinya yang tidak berdosa. Begitu juga Hani tak bisa melepas kemewahan uang diterima selama ini. “Kawin dengan Hamid enggaklah yauww, aku takkan kenyang karena cinta,” begitu sikap Hani.
Akan tetapi, bila sekadar untuk melepaskan hajad dan menikmati kenikmatan sesaat, ayolah! Secara diam-diam, di kala suami bekerja di kantor, Hani sering memasukkan pria tetagga itu untuk “ngerjai” dirinya di kamar. Lingkungan tempat tinggalnya di kota kayu itu memang sama-sama orang sibuk, sehingga tak pernah acuh pada tetangganya yang bermain kayu. Oleh karena itu skandal Hani-Hamid aman-aman saja meski sudah berlangsung bertahun-tahun.
Tingkat perselingkuhan Hani-Hamid sudah bak suami istri saja layaknya. Mana kala mereka butuh, tinggal keduanya masuk kamar: gusrak, gusrakkkkk! Keduanya baru prei ketika hari Minggu atau Hani sedang kena palang merah. Di hari itu, baik Hani maupun Hamid “back to basic” alias aktif melayani pasangan masing-masing. Istri Hamid tak pernah tahu bahwa hanya dapat barang sisa, sementara Badri juga tidak ngeh bahwa selama ini dirinya hanya jadi pemegang saham minoritas.
Edannya si Hamid, karena begitu seringnya menyelingkuhi bini tetangga, dia menjadi santai sekali menjalani kehidupan bawah tanahnya. Seperti yang terjadi beberapa hari lalu, habis kelonan dia bisa nyantai tidur-tiduran di ruang tamu rumah Hani, sementara empunya rumah belanja ke warung seperti lazimnya. Hamid tak peduli bahwa sewaktu-waktu pemilik kendaraan pulang dan dia bisa dibacok golok atau bahkan dituntut secara hukum.
Golok yang tak pernah dipikirkan Hamid, akhirnya tiba juga. Suami Hani yang biasanya pulang kerja pukul 20.00 tiba-tiba baru jam 15.00 sudah pulang. Keruan saja kali ini dia memergoki Hamid tetangganya nyantai di rumahnya. Tahu ada lelaki lain di rumah di kala dia pergi, tahulah sudah apa yang terjadi. Dia segera mengambil golok, untuk mengeksekusi Hamid. “Pasti kamu tadi menyelingkuhi biniku ya, dasar......!” makinya.
Anehnya Hamid tidak gentar. Bahkan dia berhasil merebut golok itu dan gantian hendak dibabatkan ke tuan rumah. Insisen ini kepergok anak lelaki Badri yang baru berusia 4 tahun. Dia mencoba menghalang-halangi niat jahat pacar gelap ibunya tersebut. Apa lacur, justru akhirnya bocah malang itu yang jadi korban. Dia terkena bacokan golok pada mata dan kepalanya. Semntara bocah itu dilarikan ke rumahsakit, Badri dan istrinya dimintai keterangan di Polres Balikpapan.(*)
Akan halnya Hani begitu juga. Badri sesungguhnya juga bukan suami pilihan. Hani merupakan korban proyek “Siti Nurbaya” di era gombalisasi. Dia dipaksa menikah dengan lelaki yang mengejar-ngejarnya di kala masih SMP dulu. Yang membuat Hani terhibur, di samping kepasrahan jiwanya menjalani nasib, sang suami bisa memanjakan segala kebutuhan duniawi. Rumah bagus mobil mewah, semua tersedia. “Nggak salah kan, aku memilihkan jodoh untukmu,” kata ortu Hani menyaksikan “kebahagiaan” putrinya.
Merasa senasib sepenanggungan, Hamid dan Hani klop jadinya. Apa lagi keduany tinggal bertetangga di Kelurahan Tanurejo, Balikpapan (Kaltim). Mereka ingin melampiaskan dendam masa lalunya, ingin menggapai masa mudanya yang hilang percuma. Hamid dan Hani juga sama menyadari bahwa semua ini sekadar iseng.
Untuk serius, keduanya berfikir dua kali. Hamid tak bisa mengorbankan anak istrinya yang tidak berdosa. Begitu juga Hani tak bisa melepas kemewahan uang diterima selama ini. “Kawin dengan Hamid enggaklah yauww, aku takkan kenyang karena cinta,” begitu sikap Hani.
Akan tetapi, bila sekadar untuk melepaskan hajad dan menikmati kenikmatan sesaat, ayolah! Secara diam-diam, di kala suami bekerja di kantor, Hani sering memasukkan pria tetagga itu untuk “ngerjai” dirinya di kamar. Lingkungan tempat tinggalnya di kota kayu itu memang sama-sama orang sibuk, sehingga tak pernah acuh pada tetangganya yang bermain kayu. Oleh karena itu skandal Hani-Hamid aman-aman saja meski sudah berlangsung bertahun-tahun.
Tingkat perselingkuhan Hani-Hamid sudah bak suami istri saja layaknya. Mana kala mereka butuh, tinggal keduanya masuk kamar: gusrak, gusrakkkkk! Keduanya baru prei ketika hari Minggu atau Hani sedang kena palang merah. Di hari itu, baik Hani maupun Hamid “back to basic” alias aktif melayani pasangan masing-masing. Istri Hamid tak pernah tahu bahwa hanya dapat barang sisa, sementara Badri juga tidak ngeh bahwa selama ini dirinya hanya jadi pemegang saham minoritas.
Edannya si Hamid, karena begitu seringnya menyelingkuhi bini tetangga, dia menjadi santai sekali menjalani kehidupan bawah tanahnya. Seperti yang terjadi beberapa hari lalu, habis kelonan dia bisa nyantai tidur-tiduran di ruang tamu rumah Hani, sementara empunya rumah belanja ke warung seperti lazimnya. Hamid tak peduli bahwa sewaktu-waktu pemilik kendaraan pulang dan dia bisa dibacok golok atau bahkan dituntut secara hukum.
Golok yang tak pernah dipikirkan Hamid, akhirnya tiba juga. Suami Hani yang biasanya pulang kerja pukul 20.00 tiba-tiba baru jam 15.00 sudah pulang. Keruan saja kali ini dia memergoki Hamid tetangganya nyantai di rumahnya. Tahu ada lelaki lain di rumah di kala dia pergi, tahulah sudah apa yang terjadi. Dia segera mengambil golok, untuk mengeksekusi Hamid. “Pasti kamu tadi menyelingkuhi biniku ya, dasar......!” makinya.
Anehnya Hamid tidak gentar. Bahkan dia berhasil merebut golok itu dan gantian hendak dibabatkan ke tuan rumah. Insisen ini kepergok anak lelaki Badri yang baru berusia 4 tahun. Dia mencoba menghalang-halangi niat jahat pacar gelap ibunya tersebut. Apa lacur, justru akhirnya bocah malang itu yang jadi korban. Dia terkena bacokan golok pada mata dan kepalanya. Semntara bocah itu dilarikan ke rumahsakit, Badri dan istrinya dimintai keterangan di Polres Balikpapan.(*)
No comments:
Post a Comment