Tuesday, March 11, 2008

Penjahit “Gunting” Majikan

Sebagai penjahit, sudah sewajarnya Tinuk, 28 tahun, ahli menggunting dalam lipatan. Tapi ketika yang “digunting” justru rumahtangga majikannya, tentu saja Ny. Damiri, 48 tahun, mencak-mencak. Sialnya, mantan Sekdes itu lebih cinta pada anak buahnya. Terbukti ketika Tinuk dipecat istrinya, jusru wanita itu dikawin siri, sehingga sang Ny. Damiri pun terpaksa melapor ke polisi Polres Mojokerto (Jatim).

Ini kisah tentang lelaki yang ra kuwat drajad (tak tahan dalam kenikmatan). Sekitar 5 tahun lalu kehidupan Damiri memang nyenen kemis setelah kehilangan pangkatnya sebagai Sekretaris Desa di Tangunan Puri, Mojokerto. Terlibat kasus apa dia tak ada keterangan jelas. Yang pasti, kala itu Damiri merasa kehilangan segalanya. Ya kehormatan, ya sumber penghasilan.

Tujune (untungnya) Damiri memiliki istri yang kreatif, tidak hanya mamah dan mlumah. Menyadari ekonominya sedang jatuh, dia kemudian mempraktekkan keahliannya sebagai penjahit. Ternyata banyak yang cocok, sehingga langganan makin banyak. Tukang jahitnya yang dulu hanya satu alias Ny. Damiri sendiri, kini sudah menjadi lima. Kini dia tinggal mengawasi dan mengomandoi. Ny. Damiri kini sudah jadi boss, biar masih naik bis!

Istri Damiri telah berhasil menata kembali kehidupan dan ekonominya, sehingga Damiri pun ikut berjaya. Kini dia sudah bisa kembali petentang-petenteng pakai motor, meski penghasilannya mutlak dari istrinya. Tapi Ny. Damiri memang tak pernah mempermasalahkan. Prinsipnya mungkin: biarlah suami nganggur, yang penting malam hari dia bisa bikin aku syurrrr!

Akan tetapi di mana pun lelaki sama, ketika duit berlimpah mulai banyak berlagu. Tak terkecuali si Damiri ini. Setelah berjaya lagi, dia mulai lirak-lirik kaum hawa, memperluas cakrawala. Celakanya, yang dilirik justru si Tinuk, salah satu penjahit anak buahnya sendiri. Dia memang cakep, putih bersih, bodinya seksi menggiurkan. “Anak buah istriku ini enak disum dan perlu..,” batin Damiri setiap menatap Tinuk.

Tapi Damiri mainnya memang kalem. Biar naksir, tapi pendekatannya tidak buru-buru. Prinsipnya: sebelum “disum”, cukup disun dulu. Bila itu tidak bereaksi negatif, baru urusan ke yang lain-lain. Maka meski cintanya sudah ngebet banget, dia bertampil biasa-biasa saja. Kalau situasinya demikian mantap terkendali, barulah dia mengadakan “serangan umum”, merayu-rayu si penjahit yang berwajah ala Christie Jusung tersebut.

Ide-ide Damiri memang cemerlang. Ketika dicolak-colek Tinuk diam saja, baru dia mencoba mengesunnya. Ternyata gadis penjahit itu tak bereaksi secara berlebihan. Hanya dengan wajah memerah, dia bilang: kalau ketahuan ibu nggak enak Pak! “Kalau mau yang lebih enak, memang nggak boleh ketahuan ibu,” begitu kata Damiri mulai ndableg, dan tangannya pun main towel pantat Tinuk, wush!

Karena Tinuk sudah jinak, Damiri mulai melancarkan serangan yang sesungguhnya. Bila tadinya hanya disun, kini gadis penjahit itu betul-betul “disum” dalam kamar, tanpa benang tapi ada jarum. Dan apesnya, baru sekali “ngesum” anak buah bininya, ada yang mengetahui. Tentu saja Ny. Damiri mencak-mencak. Dengan mengatasnamakan stabilitas nasional keluarga, Tinuk pun diberhentkan tanpa pesangon.

Agaknya pemecatan itu tak menjadikan Damiri-Tinuk putus hubungan. Mungkin karena asyik goyangan dan jepitannya, bekas penjahitnya itu malah dinikah siri. Damiri lalu meninggalkan istri dan kedua anaknya. Dia sudah tak lagi mengurus usaha jahitan istrinya, karena “menjahit” Tinuk agaknya lebih mengasyikan. Apa lagi setelah dinikah kampung, mereka sudah halal masuk sarung.

Hal ini tentu saja membuat Ny. Damiri meradang. Dengan pasal nikah tanpa izin dan menelantarkan keluarga, dia melaporkan suaminya ke polisi Polres Mojokerto. Namun di sana suaminya membantah bahwa tidak mengurus anak istri pertamanya. Sebab rumah dan tanah di Tangunan sudah diserahkan dan semua atas nama istrinya.

“Saya sih cukup di atas Tinuk, he he he...!” kata Damiri cengengesan tanpa beban.

No comments: