Asih menikah melawan Saryadi memang belum begitu lama, baru tiga tahun jalan. Momongan yang jadi dambaan mereka belum hadir, sehingga keduanya merasa cukup tinggal di rumah kos-kosan saja. Di samping kondisi keuangan mereka memang belum layak untuk mengambil rumah BTN tipe 21 pun, suk-sukan (berhimpitan) dalam satu kamar bagi suami istri kan malah tambah anget.
Selama perkawinan itu baru jalan sebulan dua bulan, memang asyik juga suk-sukan dalam kamar. Tapi setelah berjalan setahun, ya gerahlah. Apa lagi sudah tiga tahun belum ada bukti nyata, maka selain gerah Saryadi juga jenuh. Dan inilah yang paling celaka bagi dia, Saryadi mulai lirak-lirik perempuan lain. Dia mengatasi kejenuhan itu dengan cara yang salah. “Tiap hari ketemu lodeh melulu, bosan ah....,” begitu katanya.
Ironisnya, ketika mencari WIL (Wanita Idaman Lain), justru Saryadi mengincar wanita yang jauh lebih tua darinya. Padahal suami Asih ini tak pernah kuliah di Fakultas Ilmu Budaya jurusan arkeologi, sehingga tak ada alasan Saryadi jadi penggemar benda purbakala. Tapi itulah yang terjadi, dia nyosor banget pada Wiwin, yang kini berusia 5 windu tersebut.
Heran atau merasa aneh, selingkuh merupakan hak prerogatip seorang suami yang jenuh di rumah. Biar tua, Wiwin yang berstatus janda ini memang cantik dan STNK (setengah tua namun kenyal) pula. Dibawa jalan nggak ngisin-isini (bikin malu). Dengan kata lain, ditongkrongi maupun ditangkringi sama asyiknya. “Tua-tua kelapa, makin tua makin banyak santennya,” begitu Saryadi setiap mencari pembenaran dari kebijakannya.
Lelakinya nekad, perempuannya juga nyosor saja. Bagaimana tidak? Sudah tahu Saryadi ini masih punya istri dan usia jauh di bawahnya, dilayani juga aspirasi arus bawahnya. Di samping Saryadi yang ngebet, Wiwin sendiri memang sangat butuh. Maklum, sejak cerai dari suaminya sekian tahun lalu, dia sangat merasa kademen di kota Ungaran (Semarang) yang berhawa dingin itu.
Edannya lagi, selingkuh mereka rada kuwanen (terlalu berani). Banyak hotel dan villa di Bandungan, namun kepala keluarga yang tinggal di Suruh ini dengan beraninya membawa Wiwin ke rumah kos-kosannya. Ketika istri kerja banting tulang di pabrik, di rumah dia justru “banting-bantingan” dengan si nenek cantik. “Gini lho dik, nha....bagus, bagus, jangan takut-takut.....,” kata Wiwin setiap memberi pengarahan ala Tino Sidin.
Sudah berbulan-bulan Saryadi-Wiwin menjalin asmara di bawah tanah, dengan tempat tetap sama tanpa perubahan domisili. Mungkin karena mereka sangat rapi mengemas jaringan selingkuhnya, selama ini Asih istri Saryadi tak mengetahui. Di matanya, si suami adalah lelaki yang setia dan jujur. Memang tak ada alasan untuk mencurigai, karena jaminan materil dan onderdil masih dipasok normal.
Ungkapan lama “sepandai-pandai tupai selingkuh, akhirnya jatuh juga” ternyata berlaku pula pada debut pengejosan Saryadi. Gara-garanya sepele, Asih pulang lebih cepat dari biasanya. Nah, saat Saryadi-Wiwin “nanggung” di dalam, mendadak istri pulang ketuk-ketuk pintu. Buru-buru “syuting” itu dicut, mereka mengemasi pakaian masing-masing. Yang bikin Asih makin kenceng menggedor pintu, di dalam dia mendengar bisik-bisik wanita.
Melihat cara suami membuka pintu dilama-lamai, Asih pun curiga. Begitu masuk kamar, dia periksa kolong. Tak ada siapa-siapa. Baru ketika masuk kamar mandi, menemukan WIL suami ada di situ. Mereka pun rebut. Saryadi yang kepepet, bukan minta maaf tapi malah menghajar istrinya di kamar mandi itu pula. Sementara Saryadi-Wiwin pergi, Asih yang teraniaya lapor ke Polres Semarang.
Amit-amit si Saryadi. Ngos-ngosan kok di rumah kos!
No comments:
Post a Comment