Sungguh ironis. Yang ulang tahun putrinya, tapi yang hepi atau bahagia malah ibunya. Soalnya, dalam kesempatan tersebut Ny. Tarmi, 30 tahun, dapat “pemandangan” baru dalam bidang laki-laki. Dan karena sudah padha karepe (mau sama mau), pengkhianatan cinta pun terjadi. Saat suaminya kecapekan jualan bakso di Jakarta, di rumah Ny. Tarmi malah menerima “bakso” Ngadimin, 55 tahun, tetangganya yang dijamin bebas formalin!
Inilah gaya hidup kemlanda-landa alias kebarat-baratan, yang kini bukan saja milik orang kota. Berkat pengaruh televisi, orang-orang pelosok seperti di Gunung Kidul (DIY), juga sudah terbawa arus modernisasi. Bukan saja pakaian, perilaku juga terpengaruh. Ketika anak-anaknya ulangtahun, dimeriahkan dengan tiup lilin dan potong kue. Padahal sering kali terjadi, yang diulangtahuni sendiri tak tahu apa itu maknanya, lantaran yang ambisi dan sok gaya ibunya semata.
Tarmi yang tinggal di sebuah desa di Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul, juga punya sikap serupa. Biar profesi suaminya hanya jadi pedagang bakso di Ibukota, soal merayakan hari jadi (setelah dibikin 9 bulan sebelumnya - Red) anak, dia tak mau ketinggalan. Ketika anaknya ulang tahun ketiga belum lama ini, dia memeriahkan dengan istimewa. Ada kue tart dipotong, ada lilin 3 biji yang ditiup. Setelah itu hadirin bertepuk tangan sambil menyanyi: happy birth day......!
Inilah Sekdes Ngadimin. Kebetulan dia juga menghadiri ulang tahun itu, mengantar anak balitanya yang juga dapat undangan. Selain menyalami si Upik yang ulangtahun, dia juga menyalami ibunya, Ny. Tarmi. Cuma konyolnya Pak Sekdes, saat bersalaman tangannya ikut cari peluang. Tangan nglumer (lembut) istri Kadar, 42 tahun, diremas-remas, sementara bagian telapaknya dikorek-korek pakai telunjuknya.
Agaknya Tarmi menikmati tangan-tangan nakal tetangganya tersebut. Terbukti dia hanya tersenyum, kemudian mencubit pinggang Pak Sekdes. Kala itu yang hadir memang anak-anak kecil semua, sehingga mereka tak tahu makna muatan politik di balik cubitan pinggang tersebut. Padahal bagi Ny. Tarmi, remasan tangan Sekdes Ngadimin terasa sungguh indah dan nikmat. Kalau saja tak malu pada anak-anak, mau rasanya dia minta lebih dari itu.
Tak mengherankan memang. Sebab sejak suaminya bisnis bakso di Jakarta dan pulang ke rumah sebulan sekali, Tarmi sering kesepian. Maka ketika pesta ulang tahun si Upik sudah selesai, sesungguhnya perselingkuhan Tarmi-Ngadimin baru dimulai. Lain hari, Ngadimin mulai ngglibed (datang melulu) karena dapat lampu ijo. Awalnya mereka sekadar ngobrol-ngobrol di ruang tamu. Tapi begitu situasinya kondusif dan mantap terkendali, keduanya masuk kamar.
Indehoi, itu jelas! Di sana lebih dari remas-remasan tangan. Segala daerah rahasia Tarmi disisir habis-habisan oleh Pak Sekdes. Bahkan klimaksnya, istri pedagang bakso di Ibukota itu kena “bakso” Ngadimin yang bebas formalin dan kolestrol. Tapi Tarmi menikmati sampai merem melek. Di situ tak ada lagi istilah dosa atau batal karam, yang ada hanya karem (hobi).
Kali yang ke berapa Pak Sekdes menyelingkuhi bini warganya, tak pernah ada yang mencatat. Yang pasti penduduk mulai berbisak-bisik. Ipar Tarmi yang berarti adik perempuan Kadar, jadi penasaran dibuatnya. Sekali waktu dia mengecek kabar tersebut. Lha kok tenan (ternyata betul), ketika dia masuk rumah kakak iparnya diam-diam, di kamar dia melihat Tarmi sedang main kuda lumping bersama Pak Sekdes. Tarmi yang jadi kudanya, sedangkan Ngadimin yang jadi lumpingnya. “Kudaku lari kencang, rasa hatiku senang,” kata Pak Sekdes sambi terus berpacu
Akhirnya si adik ipar Tarmi mengadu ke pamong desa. Tak ayal lagi pasangan mesum itu lalu digerebek bersama warga. Dengan disaksikan oleh Kadar selalu saksi korban, keduanya diadili di PN Wonosari. Sekdes Ngadimin dituntut 5 bulan penjara, sedangkan Tarmi yang divonis lebih dulu, kena 5 bulan penjara dengan masa percobaan 8 bulan.
Hanya percobaan? Padahal Tarmi sudah “dicoba” tetangga berulangkali.
No comments:
Post a Comment