Petualangan asmara Daldiri, 40 tahun, sungguh tragis. Dia nekad membunuh Nisah, 32 tahun, bekas istri keduanya, hanya karena tak mau diajak rujuk kembali. Tapi itulah memang ongkos yang harus dibayar oknum guru SD dari Malang (Jatim) ini. Dia harus masuk penjara, bahkan mungkin dihukum mati, gara-gara tak bisa mengendalikan nafsu perkelaminannya!
Ekonomi yang kuat sekelas Puspo Wardoyo juragan ayam bakar Wong Solo, merupakan syarat mutlak bagi lelaki yang berniat “slendro pelog” alias poligami. Tanpa kemampuan seperti itu, sama saja ati karep bandha cupet (nafsu besar tenaga kurang). Memangnya ada wanita yang mau dikeloni saja tanpa dinafkahi? Memangnya ada istri yang nrima tanpa diberi benggol kecuali bonggol?
Lelaki guru SD dari Pujon Malang kala itu berfikir lain. Empat tahun lalu ketika kasmaran pada Nisah yang juga sama-sama guru SD, dia merasa pede saja bila hendak menikahi bu guru itu sebagai bini kedua. Kenapa Daldiri begitu optimis? “Banyak istri akan banyak rejeki,” begitu semboyannya seakan mengadopsi sesanti Puspa Wardoyo.
Untuk menikahi Nisah ternyata tidak mudah. Sebagai pegawai negeri dia dilarang keras poligami. Di samping itu juga tak ada jaminan bahwa istri pertamanya mengijinkan Daldiri berslendro-pelog. Jalan tengah pun ditempuh. Mereka menikah siri. Selain tak terancam kondite pegawai negerinya, secara agama Daldiri sudah sah dan halal menaiki kendaraan barunya.
Ketika rumahtangga “slendro pelog”-nya baru dimulai, kehidupan Daldiri sungguh hepi. Bagaimana tidak? Secara onderdil dia sungguh terjamin. Ibarat mesin pabrik, bila yang unit satu sedang over houl alias palang merah, bisa beralih ke mesin yang unit dua. Begitu pula sebaliknya. Dan nilai positip lainnya, sejak punya dua bini Daldiri badannya lebih bersih dan mulus, karena sering mandi junub melulu!
Akan tetapi kehidupan poligami yang secara gelap tak selamanya nyaman. Daldiri harus selalu berbohong dari hari ke hari, agar program slendro pelognya tak ketahuan bini kedua. Tapi namanya menyimpan bangkai, akhirnya istri pertama mencium skandal suaminya. “Kalau Nisah tak sampeyan cerai, tak laporkan atasanmu,” ancam Maryam, 36, sang permaisuri.
Takut juga Daldiri dengan ancaman istrinya. Maka meski sudah punya anak satu dengan Nisah, terpaksa bini kedua itu diceraikan secara siri pula. Tapi bagi Nisah, itu nggak masyalllah. Sebab dia memang sudah siap dengan kemungkinan buruk itu. Lagi pula, dengan tanpa suami juga sudah punya penghasilan sendiri. “Met zonder Daldiri, kehidupan jalan terus...,” begitu dia bersemboyan.
Ironisnya, setelah tanpa Nisah di bawahnya, Daldiri, seperti kehilangan semangat hidup. Ternyata Bu Guru itu sudah kadung membuat cinta Daldiri tak bisa berpaling. Selaian setia pada suami, dia wanita cantik yang tahan menderita. Meski sibuk sebagai guru, dia tak mau memelihara pembantu. Mencuci pakaian dikerjakan sendiri, tak peduli harus pakai sarung tangan agar tangan tidak lecet-lecet.
Kangen dan rindu kini menyeruak di dada Daldiri. Dia ingin kembali menikahi Nisah secara siri. Tapi ternyata Bu Guru yang tinggal di Desa Langlang Kecamatan Singosari Kabupaten Malang ini hanya mau rujuk lagi asalkan istri pertama Daldiri diceraikan dulu. Nisah memang tak mau lagi ada dua wanita dalam kehidupan Daldiri.
Ah, sarat itu begitu berat bagi Daldiri. Tapi beberapa hari lalu malam-malam dia nekad ke rumah mantan istrinya tersebut utuk bernegosiasi. Artinya Nisah tetap bersedia dinikahi lagi tanpa mencerai istri pertama. Ternyata putusan mantan istri tak berubah. Karena tetap ditolak, akhirnya Daldiri menurunkan tuntutannya. “Kalau tak mau rujuk ya sudah, tapi tolong aku layani bersetubuh malam ini...,” rayu Daldiri tanpa malu-malu.
Halah, halah...... nekad amat Pak Guru ini. Nikah siri lagi saja ogah, kok malah mengajak hubungan intim di luar nikah. Tentu saja Nisah menolak. Ternyata hal ini membuat Daldiri kalap. Bekas istri itu langsung ditusuk hingga tewas. Sedangkan Daldiri mencoba menusuk perutnya dengan pisau yang sama. Untung masih bisa diselamatkan jiwanya. Tapi usai menjalani perawatan, dia harus siap diadili dengan ancaman hukuman mati.
No comments:
Post a Comment