Wednesday, May 7, 2008

Mumpung Istri Pergi


Di hari Valentine kemarin dulu, Tatang, 35 tahun, juga menunjukkan kasih sayang pada sesamanya. Cuma, wanita yang disayang-sayang itu bukan istri atau pacar; melainkan selingkuhan. Begitu sayangnya lelaki dari Subang ini, Widya, 22 tahun, yang bukan istrinya tersebut disetubuhi berulang kali di rumah kontrakan. Padahal istrinya sendiri tengah persiapan kelahiran di Garut sana.

Asmara bawah tanah yang berujung penggerebekan ini berawal dari terganggunya jalur komunikasi sebuah rumahtangga. Meski usia Tatang – Ninih ketika menikah cukup dewasa, tapi rupanya pihak istri tak pernah baca-baca ilmu seksologi sebagaimana yang banyak dimuat di koran. Dus, segala nasihat dan petunjuk dr. Naek L. Tobing atau dr. Boyke Dian Nugraha tentang urusan ranjang, sama sekali tak pernah dibaca Ny. Ninih.

Sehingga, ketika Ninih mengandung anak pertamanya, pada usia kehamilan 7 bulan, Tatang, sebagai suami tak boleh lagi “mendekati”. Alasannya sangat klasik, nanti bisa mengganggu janin. Kalau keguguran, bagaimana? “Makanya kang Tatang puasa dulu ya, barang 4 bulan. Setelah itu nanti akang bisa rapel…..,” kata Ny. Ninih memberi pengertian pada suaminya.

Tatang tercenung-cenung jadinya. Rapel, rapel, apanya yang rapel? Kalau rapel itu nasibnya seperti rapel tunjangan komunikasi anggota DPRD bagaimana? Kan gawat. Rapel komuikasi sambungraga bagi Tatang memang lebih signifikan daripada rapel wakil rakyat yang terancam revisi PP No. 37/2006 itu. Memang, ujung-ujungnya sama untuk urusan di bawah perut, tapi kan sangat beda konteks dan permasalahannya.

Embargo istrinya tersebut membuat Tatang pusing tujuh keliling. Bayangkan, sebagai lelaki muda nan enerjik, biasanya bisa “memasok” minimal seminggu tiga kali. Lha kok sekarang gara-gara PP (Peraturan Pamajikan) tak berdasar itu dia harus nganggur tanpa kegiatan. “Ya sudah, ibarat motor saya jalan 20 Km/perjam saja deh,” kata Tatang mencoba menawar.

Rupanya Ny. Ninih tak bergeming, dia tetap pada keputusannnya: suami hanya boleh “mendekat” sampai 40 hari setelah persalinan, titik! Sebelum itu, semuanya dalam status verboden. Silakan Tatang mencari kesibukan di luar, asalkan bermanfaat bagi keluarga. Misalnya, semakin rajin beribadah, memohon pada Illahi agar anak pertamanya nanti menjadi generasi yang berguna bagi nusa bangsa, agama dan mertua!

Bagi lelaki beriman, nasihat bini macam begitu barangkali bisa dipatuhi suami secara konsekuen. Tapi bagi Tatang yang Islam-nya saja hanya dalam KTP, beratlah bila harus “gencatan senjata” tanpa sepersetujuan PBB. “Ibarat pemburu, tak boleh nembak di hutan resmi, apa salahnya nembak di hutan liar….?” begitu tekad Tatang kemudian.

Akhirnya solusi gila itu betul-betul diterapkan. Diam-diam Tatang menjalin asmara lagi dengan cewek lain. Tongkrongan lelaki warga Kampung Jeding, Subang Kota ini memang lumayan, sehingga dalam waktu singkat dia sudah memperoleh “termos” cadangan. Nah, bersama Widya pacar gelapnya tersebut dia menuntaskan segala nafsu yang selama ini tak bisa lagi diperolehnya di rumah.

Rupanya Tatang memang lelaki paling nekad sekota Subang. Bagaimana tidak? Ketika istrinya minta izin mau melahirkan di Garut tempat asalnya, dia senangnya bukan main. Hari itu juga bininya langsung diantar ke Banyuresmi, dan sekembalinya dari sana kebebasan semakin diperoleh. Artinya, Tatang kini sudah berani membawa Widya ke rumah kontrakannya untuk dikeloni sepuasnya.

Untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Seperti pada Rabu 14 Februari kemarin dulu, ketika para ABG pada berkasih-kasihan merayakan Valentine Day, Tatang – Widya juga berkasih-kasihan di ranjang. Karena suara ah uh ah uh itu bikin ngiri, ada warga yang mengintipnya. Lho, kok bukan dengan Ninih istrinya? Pak RT pun dilapori, dan pasangan mesum tersebut digerebeg. Untung saja sebelum dilaporkan ke polisi, Tatang berjanji siap menikahi Widya. “Poligami kepepet nggak apa, yang penting tak ada lagi fitnah. Betul tidaaaak?” kata Tatang sok niru Aa Gym saja.

No comments: