Wednesday, May 7, 2008
Pamanku Si Penjahat Kelamin
Cukup rapi sebetulnya cara Mujito, 45, mengajak “penak-penakan” sang ponakan, Ratih, 20. Hampir setahun mulus-mulus saja. Tapi tiba-tiba perut sigadis melendung dan dinyatakan hamil 5 bulan, maka skandal paman – ponakan itu terkuak. Mujito kini ditangkap Polres Jember sebagai penjahat kelamin.
Antara Mujito dan Ratih memang saudara dekat, karena mereka sebagai paman dan ponakan. Karenanya ketika keduanya berakrab-akrab ria, dianggap biasa saja, tak pernah ada yang mempertanyakan dan mempermasalahkan. Tapi ketika polisi tiba-tiba mencokok Mujito, bingunglah lelaki celamitan itu. Karenanya, bila penyanyi Ivo Nilakrisna dulu bilang: aku ini gembala sapi, yo piyeau yapiyau hu huuu; sekarang Mujito meratap: “Aku ini penjahat kelamin, njuk piye nyuk piye iki (lalu bagaimana ini), hu hu huuuuu….!”
Paman dan ponakan terkutuk ini tinggal di Umbul Kecamatan Kedungkajang, Jember (Jatim). Mereka memang tinggal berdekatan, dan Ratih suka main ke rumah pamannya untuk bantu-bantu momong anak Mujito yang baru berusia 2 tahunan. Anak bungsu ini memang lulut (akrab) sekali dengan kakak sepupunya. Maklum, Ratih pandai momong bocah. Dalam gendongannya, anak akan menjadi penurut. Maka kalau saja ada modal dan keberanian, pastilah Ratih bisa jadi pesaing Kak Seto. Weleh, weleh, weleh!
Enak sekali istri Mujito jadinya, pekerjaan seabrek jadi ringan. Jika pinjam Presiden SBY dan Prof. Jimmly Asshidiqie, dia bisa fokus mengurus dapur, cuci mencuci, lalu melayani kebutuhan suaminya sehari-hari, termasuk yang malam hari. Begitulah memang resiko wanita Jawa yang hanya dijadikan kanca ngandap (baca: teman tidur). Tugas sehari-hari tak pernah lepas dari urusan: masak, macak, manak dan….manuk alias burung!
Kebiasaan Ratih kini, sekitar pukul 20.00 main ke rumah sang paman untuk nonton TV di ruang tamu. Nonton sinetron, nonton Mama Mia di Indosiar, sementara mama-nya Mujito di kamar sambil ngeloni si Upik. Bermalas-malas di depan teve ini bisa sampai pukul 22.00, karena kemudian Mujito sang paman juga menemani nonton. Mereka berdua dengan asyiknya memelototi layar kaca. Betulkah mereka hanya berdua? Tidak, karena kemudian setan juga nimbrung untuk mengajak kepada hil hil yang mustahal!
Ditemani cewek mulus macam Ratih, lama-lama Mujito memang jadi lupa akan status dan posisinya. Di sini kemudian tak ada lagi batasan antara paman dan ponakan, ketika tangan Mujito “bergerilya” dan Ratih membiarkan saja. Maka selanjutnya, ya terserah Anda. Sewaktu si ponakan sudah terlena akan rabaan mematikan sang paman, perbuatan terkutuk itu terjadilah. Bak istri sendiri, untuk pertama kalinya Ratih dinodai paman sendiri. Tragis memang, siang hari dia menggendong anak Mujito, malam hari malam dipaksa “menggendong” depan bapaknya!
Enak bagi Mujito, lama-lama enak pula bagi Ratih. Buktinya, lain hari praktek mesum itu ditayangkan kembali di depan teve. Setiap ada kesempatan, Mujito selalu mengakak “penak-penakan” si ponakan di ruang tamu, sementara istrinya tidur mendengkur di kamar. Praktek mesum ini mulus-mulus saja hampir setahun lamanya, karena Mujito memang rapi mengemas perselingkuhannya, sehingga istri tak pernah mengendusnya. Apa lagi alokasi asmara untuk dirinya di malam hari juga tak pernah kedodoran.
Hanya saja, Mujito – Ratih lupa bahwa kegiatan terkutuk itu bisa menimbulkan bencana. Dan itupun terjadi beberapa hari lalu, ketika Ratih sadar sudah beberapa bulan tak mens. Ketika dia mengadu ke kakak perempuannya di Probolinggo, saat dibawa ke bidan ternyata diketahui sudah hamil lima bulan. Paniklah keluarga itu. Tak peduli paman sendiri, Mujito langsung dilaporkan dan ke Polres Jember dan ditangkap. Ratih selaku saksi korban saat diperiksa mengakui, persetubuhan itu selalu terjadi di depan teve menyala di ruang tamu. “Saya kira nggak apa-apa, tahu-tahu kok hamil begini,” kata Ratih macam gadis bloon saja.
Ayah Tiri Peduli Janda
Misalkan ada Partai Karya Peduli Janda, Jazuli, 45, layak jadi ketua umumnya. Soalnya, asal lihat janda, nggames (doyan ) banget dia. Sampai sampai, anak tiri yang belum lama menjanda, Darsiti, 21, langsung disergapnya. Meski dia sempat kabur berbulan-bulan, akhirnya polisi Banyuwangi membekuknya jua.
Andaikan pengusaha, Jazuli juga boleh disebut pebisnis yang cepat menangkap peluang. Soalnya, begitu tahu anak tirinya dalam status janda, dia berusaha untuk memanfaatkan. Bukankah teori usang mengatakan, janda adalah lambang kesepian? Nah, dalam kondisi sepi tanpa lelaki, dia pastilah sangat mendambakan peluk rindu. Dan Jazuli, sebagai ayah tiri siap menjadi penyandang tenaga kuda, untuk memuaskan sijanda meruguk dahaga asmara.
Jika boleh berkata jujur, sebetulnya sudah cukup lama Jazuli mengincar Darsiti. Sebab sementara sang ibu mulai kempong perot (keriput) dalam usia 50, si anak tiri justru makin mempesona, menebar aroma semerbak mewangi. Perhatikan bodinya, simak gurat-gurat wajahnya, begitu teduh, damai, tenang bak Telaga Sarangan dalam sebuah lagu keroncong. “Kagum aku memandang, oh indahnya “rahasia” janda pujaan…,” kata Jazuli mempelesetkan lagu ciptaan Ismanto itu.
Untuk tampil ke depan, menaksir diri anak tiri sendiri, jelas tak berani dan malu. Tapi masalahnya, iman boleh kuat cuma “si imin” selalu menggeliat! Walhasil ambisi Jazuli untuk memiliki Darsiti si anak tiri, ya hanya maju mundur bak tari poco-poco sebagaimana sindiran Megawati pada SBY. Soalnya yaitu tadi, jika terlalu agresif, nanti apa kata tetangga dan istrinya. Bagaimanapun juga Jazuli mencoba jaim alias jaga imej.
Maka peristiwa yang sangat buruk itu pun kemudian terjadi. Ketika Darsiti menikah dan dibawa pergi suaminya, dia sebagai bapak harus merelakan dan memberi restu. Padahal batinnya clegak-cleguk (menelan ludah) saking ngilernya. Ibarat unggas merpati itu sudah lepas dari genggaman, terbang tinggi di balik awan. Oh, bisa dibayangkan bagaimana luka hati si ayah tiri ini. “Betapa kukecewaaaaa…..,” kata Jazuli ketika berkeroncong ria menghidur diri.
Untung saja Jazuli tak perlu merana berlama-lama. Baru setahun berumahtangga, didengar kabar bahwa rumahtangga Darsiti tak bahagia. Karena ternyata suaminya hanya lelaki abal-abal, pekerjaan tidak jelas. Ketika si anak tiri itu pulang ke rumah sambil menangis, mengadukan perilaku suaminya, Jazuli keplok bokong (menepuk pantat) pertanda girang bukan buatan. Maka sarannya kemudian: cerai, cerai, cerai! Begit saja kok repot…..
Nah, karena tekanan ayah tiri begitu kuat, apa lagi didukung semua fraksi dalam keluarganya, jadilah Darsiti mengambil kebijakan yang tidak populer: cerai! Begitu palu hakim Pengadilan Agama Banyuwangi diketuk, Jazulilah lelaki paling pertama yang berteriak kegirangan dalam hati. “Selamat datang janda baru, aku siap jadi “generasi penerus” suamimu…,” kata Jazuli sebagai lelaki karya peduli janda.
Demi suksesnya sebuah politik kotor, Jazuli mencoba tampil elegan. Maksudnya, ketika Darsiti kembali ke rumah orangtuanya di Desa Palpitu Kecamatan Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi (Jatim), dia tidak langsung main tubruk. Tunggu dulu sampai situasinya sangat memungkinkan. Bukankah pepatah Jawa mengatakan: kena iwake aja nganti buthek banyune (kena sasaran tanpa timbulkan masalah). Padahal “iwak” Darsiti itulah yang sudah dirindukan selama ini.
Untuk bulan pertama, kedua, ketiga, masih aman. Tapi lepas sekwartal, benar-benar Darsiti disergap di kala rumah sedang sepi. Padahal prediksi Jazuli bahwa si anak tiri sedang kesepian dan merindukan dekapan lelaki, meleset total. Buktinya, meskipun siang itu sudah berhasil disetubuhi si ayah tiri, dia langsung mengadu pada ibunya. Wah, tentu saja Ny. Jazuli naik pitam. Tak peduli suami sendiri, hari itu juga suami celamitan itu dilaporkan ke Polsek Wongsorejo dan ditangkap krekeppp. Tinggalah Jazuli menyesal, enaknya nggak seberapa, hukumannya minimal 5 tahun penjara!
Repot kan, “iwak” kena tapi kolam kadung butek.
Tusuk Dulu Urusan Belakang
Tatkala suami tergila-gila pada perempuan lain, bagaimana istri tidak sewot? Itu pula yang dilakoni wanita dari Bojonegoro (Jatim) ini. Sementara suami mbregudul (keras kepala) dan perempuannya nyosorrr terus, Warti, 38, bertindak tegas. Musuh bebuyutan itu ditusuk pisau jusss, dan urusan belakanganlah!
Agaknya Bripka Widyo, 43, sebagai polisi tak hanya jeli pada tindak kejahatan. Pada wanita cantik berpantat gede yang menjanjikan kenikmatan, dia semakin jeli lagi. Dari gerak gerik dan sorot mata perempuan itu, Widyo bisa memastikan bahwa wanita di depannya tersebut bisa “diolah” sedemikian rupa. Tinggal masalahnya, ada keberanian atau tidak? Soalnya, keberanian di sini bukan sekedar dari sisi onderdil, tapi juga sisi materil untuk mendukung Operasi Cinta si anggota bayangkara.
Kawan kita dari Desa Pasinan Kecamatan Baureno Kabupaten Bojonegoro ini memang tengah dilamun asmara. Dia terpikat pada senyum manis cewek bernama Hesti Ambarwati, 27. Cantik namanya, cantik pula orangnya. Pendek kata bisa mengingatkan pada lagunya Lilis Suryani di tahun 1960-an. “Oo….Hesti, mengapa wajahmu mirip dia, dia yang selalu menawan hatiku, kau datang di kala aku rindu. Bila kupandang wajahmu, hatiku tersayat sedih, karena teringat selalu, dia yang telah pergi….!
Pada paruh waktu perjalanan hidupnya, Bripka Widyo memang pernah jatuh cinta pada cewek mirip Hesti yang kini ada di depannya itu. Seakan gadis masa lalu tersebut kembali hadir di depannya, dan sengaja dikirimkan Tuhan untuknya. Kenapa beramsumsi demikian? Sebab lagak dan gayanya, si Hesti ini sangat pasrah. Diapakan saja mau, pendek kata: minakjingga, miring penak njengking mangga (miring enak, nungging hayo saja).
Ada cewek cantik kok dianggurkan, ora ilok (pantangan) bagi Bripka Widyo. Setelah berkenalan disusul tawaran jalan bareng, ternyata si Hesti memang tidak menolak. Selanjutnya oknum polisi ini jadi lupa pada yang di rumah. Pada kesempatan jalan bareng berikutnya, Hesti tak hanya dipandangi sebagaimana kata Lilis Suryani, tapi langsung digauli bak seorang istri. Dan karena selingkuh itu enak full deg-deg plas, akhirnya jadi rutinitas. Setiap ada kesempatan pastilah Hesti diajak kelon dengan segala dinamikanya.
Sering dikeloni oknum polisi, lama-lama perut Hesti menggelembung. Sebagai lelaki tanggungjawab Widyo segera mengawininya secara siri, bahkan ditempatkan di sebuah rumah kontrakan. Celakanya, karena hanya bertetangga kampung, dengan pede-nya Hesti sering minta uang pada Widyo di jalan. Ini dilakukan juga ketika Hesti sudah melahirkan bayinya. Lama-lama tentu saja, ada tetangga yang tahu dan praktis segera dilaporkan pada Ny. Warti selaku pihak terkait.
Tak pelak lagi Ny. Warti naik pitam, suaminya diinterogasi, dipaksa menjawab 10 pertanyaan. Tapi dia tetap tak mengaku, bahkan berani sumpah dijejeli apem (mulut disumpal apem) bila berbohong. Gagal menekan suaminya, gantian Ny. Widyo mendatangi Hesti, minta jangan sekali-kali mengganggu suaminya. “Gara-gara kamu, yang terbagi bukan hanya si entong tapi juga kantong. Tahu nggak kamu ha….?” Tegur Warti keras.
Ironisnya, Hesti tak juga gentar dengan teguran keras. Asal ada kesempatan, selalu saja minta duit pada Bripka Widyo. Jelas istrinya yang baku semakin nyap-nyap. Gila, uang bulanan tekor, suami masih juga disosor. Beberapa hari lalu Ny. Warti jadi nekad. Saat melihat gendakan suami jalan menggendong anak, amarahnya berkobar. Tanpa ampun lagi Hesti ditusuk jusss. Sementara Hesti dilarikan ke RSU Bojonegoro, istri Bripka Widyo ditangkap polisi Polsek Baurena untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ketika diberi tahu Hesti masuk rumahsakit, komentarnya pendek saja: kok gak modar sisan, wong wedok gatele eram (kepana nggak mati sekalian, perempuan kok gatel amat). Gatel ya digaruk lah iyauwwww.
Terjebak Di Pusaran Cinta
Reseh banget Jendra, 45 tahun, sebagai atasan. Diminta menengahi anak buahnya yang ribut urusan rumahtangga, malah masuk dalam pusaran selingkuh. Ny. Dwiasih, 37 tahun, yang tadinya dinasihati supaya rukun-rukun selalu dengan Darsan, 42 tahun, anak buah Jendra, akhirnya malah dikeloni sendiri. Ditugaskannya anak buah ke luar kota, dan sang atasan pun “membawahi” istri Darsan di sebuah hotel.
Ini selingkuh mirip-mirip kisah wayang kulit, seorang tokoh panutan yang akhirnya malah “mut-mutan” dengan wanita bukan bininya. Begawan Wisrawa ditugaskan putranya, Prabu Danaraja untuk melamar Dewi Sukesi. Pada kenyataannya, putrid Prabu Sumali itu malah dikeloni setelah diwejang ilmu Sastra Jendra Hayuningrat. Prabu Danaraja memang marah besar, tapi Dewi Sukesi kadung kesengsem pada “ilmu” Wisrawa yang lumayan besar!
Nah, oknum karyawan swasta bernama Jendra dari Cirebon itu begitu pula rupanya. Penampilan luarnya memang santun, bijak, bisa bikin adem karyawannya di kantor. Tapi bila dia sedang unjuk kekuatan, sepakterjangnya sungguh gak ngoman-omani (bikin yang lain tidak kebagian). Istri teman sejawat disikat, istri anak buah diembat. Yang kasihan tentu saja Darsan, katanya ditugaskan keluar kota, tak tahunya di rumah istrinya dioperasi “luar dalam” oleh Jendra atasannya tersebut.
Darsan dan Dwiasih bininya belakangan memang tengah mengalami kemelut rumahtangga. Masalah awalnya hanya sepele, istri minta dibelikan rice coker untuk masak di rumah. Tetapi meski harganya hanya sekitar Rp 500.000,- saja, Darsan tak segera membelikan. Ditunda-tunda terus. Katanya April, mundur lagi Mei. “Soal riscoker saja mundur-mundur kayak resafel kabinet…,” kata Dwiasih sekitar setahun lalu.
Ujung-ujungnya, Dwiasih menuduh suaminya tak sayang pada keluarga. Kalau punya duit malah diutamakan buat ngurusi adik-adiknya. Jadi akhirnya tak pernah ada uang lebih di rumah. Padahal Dwiasih yakin benar, nanti para adik ipar tersebut setelah mapan hidupnya belum tentu ingat pada perjuangan kakaknya dulu. Di manapun kacang memang selalu lupa pada kulitnya.
Akhirnya keributan pun meledak, merambah segala lini permasalahan. Darsan-Dwiasih pernah cakar-cakaran di rumah. Lucunya lagi karyawan swasta di Cirebon ini, asal baru ribut dengan bini, jadi tak masuk kantor. Jangankan berantem sama bini. Baru genting bocor atau pompa sanyo ngadat saja, dia memilih tidak masuk kerja. “Baru ada urusan keluarga,” katanya selalu setiap ijin lewat telepon.
Tiap minggu selalu begitu, Jendra sebagai atasan dan kepala bagiannya di kantor, tentu saja tidak enak. Gara-gaya ulah anak buah, kinerja perusahaan jadi terganggu karenanya. Karenanya, ketika Darsan masuk dipanggil dan ditanyai persoalan sebenarnya. Sebagai atasan yang baik, dia ingin mencoba mengatasi kemelut itu. Maka hari lain Jendra minta Darsan membawa bininya di kantor. Gaya Jendra macam Balai Penasehat Perkawinan saja.
Istri Darsan pun diajak ke kantor esok paginya. Dan Jendra yang punya bakat mata keranjang, langsung terpesona pada Dwiasih yang cantik dan putih bersih itu. Dia kasihan padanya, perempuan yang begitu mulus dan ayu, kok disia-siakan di tangan Darsan. “Perempuan begini kalau jadi biniku cukup jadi penghias tempat tidur. Kerjanya cuma mamah (makan) dan mlumah (layani suami di ranjang),” batin Jendra penuh nafsu.
Kemudian suami istri itu dinasihati, isinya bla bla bla…., pokoknya diminta rukun-rukun selalu.. Lalu gaya Jendra seperti ustadz Aa Gym sebelum tenggelam saja, ada perbuatan halal yang dibenci Allah, yakni perceraian. Jangan cerai, kasihan anak-anak. Mereka tidak salah, yang salah yang membikinnya, eh maksudnya orangtua. Betul tidaaak? Masya Allah.
Akan tetapi, tak hanya sampai disitu Jendra menjadi konsultan rumahtangga. Lain hari bahkan tiap hari, nelpuni Dwiasih melulu. Di situ bukan menasihati lagi, tapi merayu-rayu agar mau diajak selingkuh. Jangan khawatir ketahuan suami, sebagai atasan Jendra menjamin bisa mengaturnya. “Nanti Darsan biar kutugaskan inspeksi ke cabang-cabang luar kota beberapa hari,” kata Jendra mantap dan hakul yakin.
Hari H itu tiba. Darsan keluar kota tugas kantor, sementara Dwiasih bininya dalam waktu yang sama malah dibawa masuk hotel oleh Jendra. Jadi sama-sama inspeksi lah. Darsan inspeksi anak cabang, Jendra “inpseksi” bini orang. Dwiasih yang selama ini tak pernah ngaku dalemannya apa bila ditanya lewat telepon, kini malah diberikan semuanya untuk atasan suaminya tersebut.
Malang tak bisa ditolak, mujur tak bisa diraih. Entah berapa kali selingkuh, Darsan mencium gelagat buruk itu. Sekali waktu pas dikirim ke luar kota, sengaja tak berangkat, tapi membuntuti bini ke mana saja pergi. Ternyata betul kata orang, Jendra selalu membawa Dwiasih manakala ditinggal suami. Dan malam itu dia melihat sendiri betapa istrinya dibuat “enjot-enjotan” di sebuah kamar hotel.
Akhirnya pasangan mesum itu digerebeg. Jendra-Dwiasih dilaporkan ke polisi dengan bukti celana dalam dan tisu pembersih. Kini Jendra hanya tinggal menyesali nasib. Gara-gara sok jadi pahlawan kebajikan, akhirnya malah terjebak dalam pusaran cinta. Dikuatirkan, kariernya tamat gara-gara mencari nikmat sesaat.
“Nyosor” Ibu Rumahtangga
Menyelingkuhi wanita karier memang lebih aman dari pada menyelingkuhi ibu rumahtangga murni. Tanyakan saja pada Imron, 40 tahun, dari Kemayoran Jakpus ini. Gara-gara yang dicomot Ny. Yayuk, 36 tahun, ibu rumahtangga yang jarang keluar, begitu dia dibawa ke hotel oleh Imron, suaminya pun curiga. Maklum, saat dibel ke rumah, telepon tak diangkat-angkat. Kemana saja istri? Nah, berantakan deh semuanya.
Aman nggak aman, kalau bisa jangan selingkuhlah. Sebab segala sesuatu yang model spanyol (separo nyolong), tak pernah tenang dinikmati. Bagi para pelakunya sih hepi-hepi saja, tapi sadarkah bahwa ada pihak lain yang memaki babi babi, akibat perbuatan tersebut? Siapa sih lelaki atau wanita yang rela, ketika pasangan tercintanya dikencani pihak lain?
Malangnya, peselingkuh kadang sekadar membeli sebuah sensasi. Soal “menu” sebetulnya baik yang di rumah maupun yang di luaran, rasanya sama saja. Tapi karena yang di luar diperolehnya lewat perjuangan, jadi ada sebuah tantangan. Berbeda dengan yang di rumah, menu itu bisa diambil kapan saja, sehingga tak pernah menciptakan kesan mendalam.
Agaknya Imron yang tinggal di Jalan Tembaga Dalam, Kelurahan Harapan Mulya, Jakpus, punya pemikiran serupa. Selingkuh baginya sekadar memburu sensasi. Cuma meski sudah lama malang melintang dalam dunia asmara bawah tanah, dia tak pernah mempertimbangkan segi keamanannya antara wanita ibu rumahtangga murni dan wanita karier. Asal dia naksir, langsung main sosor saja, sorrrrr!
Sepekan lalu dia kena batunya, ketika main mata dengan Ny. Yayuk, tetangganya sendiri hanya lain gang. Bini Hendra, 43, ini memang cakep. Baik perwajahan maupun perbodian semuanya memenuhi syarat. Meski sudah punya dua anak, tapi bodinya masih sekel nan cemekel. Maklum, Ny. Yayuk yang berkulit putih bersih itu sangat pandai merawat tubuh. Lenggang lenggoknya selalu membuat kaum lelaki berkhayal yang enggak-enggak.
Agak lumayan lama Imron mengincar bini tetangga tersebut, tapi peluang tak juga nemu. Setiap mau diajak jalan bareng selalu nolak dengan alasan tak mau rumahnya kosong. Memang, Yayuk pergi keluar hanyalah ketika ke warung, pasar, bezuk orang sakit, kegiatan PKK atau Jumantik di kampungnya. Di luar itu, pergi jauh-jauh pastilah bareng suami. “Orang kok kalah sama Kyai Slamet,” ledek Imron, karena tahu Ny. Yayuk ini orang Sala, dan Kyai Slamet adalah kerbau kraton yang suka kelayapan ke mana-mana.
Yayuk tak pernah peduli diledek sebagai Kyai Slamet si kebo kraton atau Kyai Kanjeng si Emha Ainun Nadjib. Yang penting cukup memenuhi kodratnya sebagai ibu rumahtangga murni. Biarkan saja disebut kerjanya hanya mamah dan mlumah, yang penting Hendra suaminya bahagia karenanya. Dan Yayuk pun sadar, karena kecantikannya pula, ibarat kata kerjanya tiap hari memang disuruh mlumaaaah melulu.
Akan tetapi sayang seribu sayang, kecantikan Yayuk tak didukung oleh ekonomi mapan Hendra. Contoh soal, ketika rumah kontrakannya nyaris habis, lelaki berbini cantik ini kelabakan cari duit. Nah sementara suami belum ketemu lobang pinjaman, Yayuk mencoba pinjam pada Imron sang pengagum. “Ada, tapi tak enak menyerahkan di rumah, gak enak sama istri,” kata Imron memasang jaring-jaring kalamangga.
Namanya juga orang kepepet, Yayuk nurut saja ketika diam-diam diajak pergi ke suatu tempat. Ee, ternyata dibawa ke sebuah bangunan mewah di bilangan Sawah Besar, yang ternyata sebuah hotel. Mau berkelit sudah terlambat. Akhirnya Imron memang mengeluarkan uang Rp 5 juta dari dompetnya. Tapi imbalannya, “dompet” Yayuk yang bukan made in Tanggulangin (Sidoarjo) itu harus diserahkan.
Gairah sekali Imron menikmati barang colongan tersebut. Cuma dia tak tahu bahwa selama Yayuk dibawa ke hotel, Hendra telepon melulu ke rumah. Ke mana kok tak diangkat. Jangan-jangan istrinya pergi. Apa besuk orangsakit, belanja ke pasar atau ikut kegiatan PKK di kelurahan? “Kok nggak ada yang beres hari ini,” gumam Hendra.
Keesokan harinya dia lalu mematai-matai bininya. Eh ternyata pergi ke hotel bersama Imron tetangga sekampung. Dia masih mencoba bersabar dengan pesan pada satpam hotel, bila lain hari Yayuk ke situ lagi dengan membawa lelaki, harap segera mengontaknya. Tentu saja satpam oke-oke saja, apa lagi diberi uang tip.
Ujung perselingkuhan itu berakhir. Beberapa hari kemudian ternyata kembali Yayuk – Imron menggelar selingkuh tersebut. Satpam segera mengontak Hendra. Dan benar juga, ketika keduanya tumpang tindih dalam kondisi bugil, suami Yayuk menggerebeknya. Pasangan selingkuh itu tak berkutik lagi, ketika digelandang ke Polres Jakpus. Imron menyesal, kenapa berani-berani menyelingkuhi ibu rumahtangga murni. “Kalau wania karier, pergi seharian juga nggak ada yang curiga, Bleh…,” kata setan.
Salah Pencet “Klakson”
Andaikan Kamari, 40, tak memanjakan istri dengan membelikan motor baru, mungkin selamat sejahteralah biduk rumah tangganya. Tapi itulah yang terjadi. Gara-gara motor baru tersebut, Indri, 35, disosor anak muda tetangganya. Bayangkan, katanya mengajari naik motor, Rudi, 19, suka salah pencet “klakson” milik bini Kamari. Ya kacau balaulah semuanya.
Tak bisa dipungkiri, istri cantik memang harus dimanjakan, meski itupun harus sebatas kemampuan. Sebab kalau memaksakan diri, suami bisa saja terlibat kasus Bulog jilid II, maksudnya korup sana korup sini. Bila ini yang terjadi, awalnya memang aksi, tapi akhirnya bau terasi. Tiap hari diperiksa polisi, akhirnya masuk bui!
Indri istri Kamari ini memang layak dapat bintang. Lehernya yang jenjang, rambutnya yang panjang, payudaranya yang segar menantang, ditambah jalannya yang tak pernah ngegang, membuat lelaki berkhayal sampai kenyang. “Aku punya bini macam Indri, nggak ngantor seminggu juga nggak apa,” kata para tetangganya di Jalan Imam Bonjol, Gang Langgeng, Tanjungkarang Barat.
Kamari sendiri sebagai suami memang sangat bangga akan bininya. Ketika memperjuangkan Indri dulu, telah dikerahkan segala daya, tenaga dan dana. Dia harus membangun koalisi dalam keluarga calon mertua, minta dukungan politik. Maklum, pesaingnya begitu banyak, sedangkan Kamari tampil belakangan. Untungnya, dia berhasil muncul sebagai kuda hitam, dan kini tiap malam bisa memamerkan “tenaga kuda”-nya untuk bini tercinta.
Agar Indri selalu merasa bahagia di samping dan bawahnya, Kamari memang harus memanjakannya. Misal kata ketika dia minta dibelikan sepeda motor baru, supaya lebih praktis belanja ke warung atau ke pasar. Dan karena dengan uang muka Rp 500.000,- sudah bisa membawa pulang motor bebek, Kamari pun membelikan motor cicilan yang bila distater bunyinya: dit, dit, dit, alias kredit, kredit, kredit….!
Honda Bebek itu terbeli sudah, lalu sebelum plat nomernya tiba, Ny. Indri belajar naik motor dibantu anak muda tetangganya. Maklum, Kamari yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya, tak pernah sempat mengajari istrinya sendiri naik motor. “Dik Rudi, tolong mbakmu diajari naik motor ya, di lapangan depan saja, jangan ke jalan raya,” begitu pesan Kamari.
Istri Kamari pun lalu belajar naik motor bersama Rudi, ketika usai masak pukul 10.00. Anak muda itu memberi tahu di mana pedal rem, di mana starter gas dan di mana kunci kontak harus dimasukkan. Setelah itu, Indri duduk di depan dan Rudi menempel ketat di belakangnya sambil mengajari bagaimana memegang kemudi. Pendek kata, gerak-gerik mereka bagaikan wayang orang Sri Wedari ambil lakon Srikandi Ajar Manah.
Dalam episode Indri Ajar Motor, dampaknya ternyata lain. Terlalu sering nyenggol-nyenggol tubuh bini Kamari yang sekel nan cemekel, lama-lama ukuran celana Rudi jadi berubah. Bahkan pada kesempatan lain, entah sengaja atau tidak, anak muda itu berani memencet “klakson” Mbak Indri. “Dik Rudi gimana sih, klaksonnya kan bukan di situ,” protes Indri, tapi tidak marah.
Orang lelaki dikasih angin, ya jadi nekad. Biar masih begitu muda, tapi karena sering nonton VCD atau situs porno di internet, Rudi menjadi berkeinginan lebih. Konyolnya, bini Kamari ini membiarkan saja. Maka begitu Rudi menyerbu daerah-daerah mematikan, Indri malah menggelandangnya ke ranjang. Yang terjadi selanjutnya ya begitulah. Di lapangan Rudi mengajari bagaimana naik motor, di ranjang justru Rudi diajari bagaimana memasukkan “kunci kontak” dan menstaternya.
Lama-lama lakon Indri Ajar Motor ini tercium oleh warga dan kemudian diteruskan pada Kamari. Dan beberapa hari lalu, suami malang itu melihat langsung betapa bininya tengah memberi “bimbel” alias bimbingan bergelut pada Rudi. Kamari yang tak menerimakan kelakuan istri dan Rudi tersebut, segera membawa persoalan tersebut ke Polres Bandar Lampung. “Suruh ngajari naik motor, malah istriku yang dinaiki…,” ujar Kamari kesal.
Agaknya Rudi bolotan juga tuh telinganya.
Asmara Daur Ulang
Rumahtangga Caswadi, 40, hancur ya gara-gara ulah Kades Tarjan, 35, yang tak tahu diuntung ini. Sudah dimaafkan setahun lalu, bahkan sudah bikin pernyataan takkan lagi menyelingkuhi istrinya, eh….lha kok didaur ulang! Beberapa hari lalu, Tarjan memergoki sendiri Sustiyah, 32, istrinya tengah disetubuhi Caswadi di komplek pelacuran Cirebon. Maka kali ini tak ada ampun lagi, Pak Kades diseret dari ranjang dan dihajar hingga babak belur!
Ini kisah Kades paling nekad se Kabupaten Cirebon (Jabar). Setahun lalu dia merintis perselingkuhan itu dengan bini warganya, Tarjan. Kebetulan Sustiyah istri Tarjan termasuk wanita aktif di kegiatan kelurahan, sehingga dari sinilah kontak batin itu dimulai. Asal nampak Sustiyah, Pak Kades rajin menghadiri acara itu. Padahal, titik perhatiannya bukan pada acara, melainkan pada Ny. Sustiyah yang cukup cantik di kelasnya tersebut. Mata Pak Kades lalu melotoooot, seperti kucing lihat bandeng.
Ny. Sustiyah lama-lama mengetahui juga isi jeroan dan pendulum Pak Kades. Ah, dia sangat merasa tersanjung jadinya. Masa seorang istri warga biasa, yang profesi suaminya hanya pekerja biasa, ditaksir orang nomer satu di Desa Astanamukti Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon. Apa nggak salah nih? “Ya salah dong, masak bini orang mau ditelateni….,” begitu kata hati nurani Ny. Tarjan.
Di dalam hati sanubari Sustiyah sesungguhnya, sejak dulu dia sangat terkesan akan penampilan Pak Kades. Sudah ganteng, cukup kaya, punya jabatan strategis lagi. Tapi setelah ingat di rumah ada suami, dan Pak Kades juga punya keluarga, suara hati nuraninya itu ditindasnya sendiri. Jika gejolak hati itu ditanggapi, itu sudah termasuk bagian dari selingkuh. Padahal, selingkuh itu kan hanya memanjakan kemaluan, tapi nanti malunya nggak ketulungan!
Untuk sekadar diketahui, hati nurani biasanya selalu berdampingan dengan suara setan. Maka meski hati nurani sudah mengingatkan, setan lalu nimbrung jadi provokator. Apa lagi belakangan Pak Kades makin agresip saja mendekati, maka Ny. Sustiyah tak bisa lagi membohongi dirinya sendiri. “Malu kan kalau ketahuan, kalau enggak kan ya keasyikan lah iyauwww….,” kata setan memberi semangat.
Sustiyah akhirnya tak bisa mengelak ketika sekali waktu diajak jalan-jalan. Di dalam mobilnya yang disetir sendiri oleh Pak Kades, tangan Caswadi rajinnya bukan main. Tangan kanan pegang setir, tangan kiri geratakan ke mana-mana bagaikan Tim SAR sedang mencari sesuatu. Sustiyah sendiri yang menjadi medan operasional, hanya bisa mendesah ah ah dan uh uh. Kadang dia meringis, dan Pak Kades yang mrenges!
Enaknya kita kembali ke…. laptop! Ketika Sustiyah sudah mau digerayangi, itu berarti untuk ke sononya lagi terserah Anda. Maka lain waktu bini Tarjan ini dibawa Pak Kades ke sebuah hotel di Cirebon. Di situlah kemudian keduanya selingkuh dalam arti sebenarnya. Di situ tak ada lagi Caswadi yang Kepala Desa, di sini tak ada pula Sustiyah yang bini Tarjan. Yang ada hanyalah dua anak adam yang bermanja-manja dengan nafsu.
Lama-lama praktek mesum Caswadi-Sustiyah yang berbasis selingkuh itu diketahui penduduk. Tarjan yang dilapori tentu saja tak terima. Dia segera melabrak Pak Kades. Malu bila hal itu menjadi konsumsi public, Kades Caswadi kemudian membuat pernyataan bahwa takkan menyelingkuhi istri Tarjan lagi. “Saya berjanji, mulai hari ini takkan lagi menyelingkuhi bini Tarjan. Suerrrr….,” begitu salah satu kalimat inti dalam perjanjian di atas meterai cukup itu.
Akan tetapi ternyata janji di atas meterai itu hanya retorika belaka. Bebarapa bulan tak merasakan “menu” Sustiyah yang pulen dan kenyal, Kades Caswadi kembali pusing juga. Lupa akan “Perjanjian Astanamukti” setahun lalu, dia kembali lirak-lirik pada Ny. Sustiyah. Bila ketemu, Pak Kades kembali melepas sinyal-sinyal asmara. Mungkin karena BTS (Bisikan Teman Setan)-nya cukup dekat, Sustiyah menanggapi saja.
Lalu keduanya pun kembali mendaur ulang kisah selingkuhnya di masa lalu. Cuma konyolnya, sedang bokek atau bagaimana, untuk ngecas wadi (daerah rahasia)-nya Caswadi kali ini tak mengajaknya ke hotel, melainkan ke komplek pelacuran Balongan. Meski tempatnya tak memadai, namanya orang diburu nafsu, ya nggak masyalah. “Yang penting rasanya Bung,” kata Pak Kades ngkali.
Untungnya kebenaran masih berpihak pada Tarjan. Ada warga yang memberi tahu bahwa istrinya jalan bareng sama Pak Kades ke Balongan. Suami malang ini langsung merapat ke TKP. Benar juga, keduanya kembali berselingkuh. Menyaksikan bininya ditindih Pak Kades, emosi Tarjan tak bisa diredam lagi kali ini. Caswadi lalu diseret dari ranjang dan dihajar. Sialnya, sebelum sempat dimatiin, Pak Kades sempat kabur. Tinggalah Tarjan melapor ke polisi dan camat Pangenan, minta Caswadi dipecat jabatan Kadesnya.
GOYANGAN TERAKHIR
Cecep, 35 tahun, meyakini bahwa istri adalah penunjang karier dan sumber rejeki suami.Celakanya, sudah ganti bini sebanyak 3 kali, rejeki dan keriernya tetap saja seret. Demikian putus asanya lelaki Bandung ini, dia mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Uniknya, sebelum “sukses” dengan rencana buruknya yang ke-7, dia sempat-sempatnya malam itu “goyang” dulu, mentang-mentang Neneng, 30 tahun, istrinya baru saja usai plat merah!
Istri atau jodoh, rejeki dan maut, sesungguhnya misteri Illahi yang tak pernah bisa diprediksi .Seperti Cecep dari Pulosari, Tamansari Bawah, Bandung ini misalnya, kala itu yakin betul bahwa ijazah SMA-nya mampu membawa sukses di kota Paris van Java. Namun ternyata, sampai lecek difotokopi buat melamar, tak ada perusahaan mau menerimanya. “Pagaweyan sih loba, tapi eweuh anu nggajihna (pekerjaan sih banyak, cuma yang menggaji tak ada),” kata pihak perusahaan yang dilamarinya.
Namun hidup terus bergulir dan perut harus diisi. Dari pada nganggur berkepanjangan, dia lalu bekerja serabutan, usaha sana usaha sini, ngobyek apa pun jadi.Tapi sekalipun tak pernah dapat gebukan gede. Maka tetap saja nasibnya tak berubah, hidup selalu pas-pasan dan kekurangan. Bayangan indah sebagai lelaki sukses, terbanglah sudah dari angan-angannya. Cecep tak pernah merasakan kemewahan, adanya sekadar bertahan!
Tapi derita apapun yang dialami, sebagai lelaki normal dia tetap punya naluri atau dorongan mempertahankan jenis, begitu kata ahli Ilmu Jiwa Sigmund Freud. Karenanya Cecep punya libido, punya gairah dan ketertarikan pada makhluk lawan jenisnya. Tegasnya, dia mulai merasakan jatuh cinta. “Bari rumahtangga engke masalah rejeki nambah lancar (dengan menikah, rejeki biasanya tambah lancar),” begitu nasihat para orangtua selalu.
Akhirnya, meski penghasilan pas-pasan dia tetap menikah dengan gadis pilihan hatinya. Di sini Cecep mengacu pada nasihat Bung Karno. Kata sang proklamator kelahiran 6 Juni 1901 tersebut, insinyur kita kalah nyalinya dengan tukang becak. Insinyur baru mau kawin setelah duit banyak dan rumah bagus. Tapi tukang becak dengan modal tikar dan keranjang sudah berani naik ranjang!
Menunggu apa lagi? Cepat-cepatlah gadis idolanya dinikahi. Enak memang jadi pengantin. Dulu ketika bujangan selalu kedinginan, kini sudah ada selimut hidup yang menghangati dan menyemangati saban malam. Pulang cari nafkah ada yang menunggu, biasanya temannya hanya guling, kini ada pingping (paha). “Kawasna akang cape pisan bade dipencetan ( sepertinya kanda capek sekali, boleh aku pijat)?” sapa istrinya bermanja-manja.
Endahnya kehidupan rumahtangga Cecep ternyata tak berlangsung lama. Ketika penghasilan suaminya tetap minim, untuk makan sehari-hari saja repot, istri tercinta itu mulai ngomel-ngomel. Ribut dan cekcok menjadi keseharian.Akhirnya, karena tak tahan hidup dalam kemiskinan bersama Cecep, istri yang baru dinikahi 8 bulan itu minta cerai. Untung saja belum sampai ada momongan.
Resikonya, Cecep terpaksa berdingin-dingin lagi untuk sementara waktu. Dan karena udara Bandung semakin menggerogoti tulang, duda malang itu tidak tahan dan kemudian buru-buru mencari istri pengganti. Hanya saja kini lebih selektif. Kecantikan dan keseksian bukan lagi menjadi patokan. “Anu penting awewe, anu daek diajak hirup malarat (yang penting perempuan dan siap diajak hidup melarat),” begitu tekad Cecep yang kepepet.
Alhamdulillah, istri pengganti itu segera diperoleh. Tapi ternyata sama saja, istri yang kedua ini juga alergi kemelaratan. Dia tak lama minta cerai. Soalnya, hampir tiap malam digoyang, tapi tak pernah dibelikan gelang. Itulah Cecep, miskin di segi materil, tapi sangat kaya di onderdil. Dan dengan perceraian yang kedua ini, dia merasa gagal menjalani hidup. Cecep tiba-tiba ingin mati saja, dari pada hidup selalu sengsara.
Neneng, adalah istri ke-3 Cecep yang mau menerima dia apa adanya. Tapi meski sudah dapat istri pengertian, dia tetap merasa tak bergairah hidup. Uniknya, untuk urusan ranjang tetap bersemangat. Seperti beberapa hari lalu misalnya, m alam-malam masih minta jatah. “Mah dicobaan deui yuk, tadi kan tos milu pangajian (mah, dicoba yuk, tadi kan sudah ikut pengajian),” kata Cecep yang tahu bininya baru usai plat merahnya.
Ah.... ini lelaki, yang dipikirkan itu melulu, gumam Neneng. Tapi karena kawajiban dan takut dikutuk malaikat sampai pagi, istri pengertian itu melayani saja hingga tuntas tasss. Habis itu Cecep tidur mendengkur dengan damai. Cuma esok paginya, ketika Neneng bangun didapati suaminya telah tewas tergantung di plafon. Dia langsung menjerit. Kata para tetangga, sudah 6 kali Cecep mencoba bunuh diri. Baru yang ke-7 kalinya mendulang sukses.
Mumpung Istri Pergi
Di hari Valentine kemarin dulu, Tatang, 35 tahun, juga menunjukkan kasih sayang pada sesamanya. Cuma, wanita yang disayang-sayang itu bukan istri atau pacar; melainkan selingkuhan. Begitu sayangnya lelaki dari Subang ini, Widya, 22 tahun, yang bukan istrinya tersebut disetubuhi berulang kali di rumah kontrakan. Padahal istrinya sendiri tengah persiapan kelahiran di Garut sana.
Asmara bawah tanah yang berujung penggerebekan ini berawal dari terganggunya jalur komunikasi sebuah rumahtangga. Meski usia Tatang – Ninih ketika menikah cukup dewasa, tapi rupanya pihak istri tak pernah baca-baca ilmu seksologi sebagaimana yang banyak dimuat di koran. Dus, segala nasihat dan petunjuk dr. Naek L. Tobing atau dr. Boyke Dian Nugraha tentang urusan ranjang, sama sekali tak pernah dibaca Ny. Ninih.
Sehingga, ketika Ninih mengandung anak pertamanya, pada usia kehamilan 7 bulan, Tatang, sebagai suami tak boleh lagi “mendekati”. Alasannya sangat klasik, nanti bisa mengganggu janin. Kalau keguguran, bagaimana? “Makanya kang Tatang puasa dulu ya, barang 4 bulan. Setelah itu nanti akang bisa rapel…..,” kata Ny. Ninih memberi pengertian pada suaminya.
Tatang tercenung-cenung jadinya. Rapel, rapel, apanya yang rapel? Kalau rapel itu nasibnya seperti rapel tunjangan komunikasi anggota DPRD bagaimana? Kan gawat. Rapel komuikasi sambungraga bagi Tatang memang lebih signifikan daripada rapel wakil rakyat yang terancam revisi PP No. 37/2006 itu. Memang, ujung-ujungnya sama untuk urusan di bawah perut, tapi kan sangat beda konteks dan permasalahannya.
Embargo istrinya tersebut membuat Tatang pusing tujuh keliling. Bayangkan, sebagai lelaki muda nan enerjik, biasanya bisa “memasok” minimal seminggu tiga kali. Lha kok sekarang gara-gara PP (Peraturan Pamajikan) tak berdasar itu dia harus nganggur tanpa kegiatan. “Ya sudah, ibarat motor saya jalan 20 Km/perjam saja deh,” kata Tatang mencoba menawar.
Rupanya Ny. Ninih tak bergeming, dia tetap pada keputusannnya: suami hanya boleh “mendekat” sampai 40 hari setelah persalinan, titik! Sebelum itu, semuanya dalam status verboden. Silakan Tatang mencari kesibukan di luar, asalkan bermanfaat bagi keluarga. Misalnya, semakin rajin beribadah, memohon pada Illahi agar anak pertamanya nanti menjadi generasi yang berguna bagi nusa bangsa, agama dan mertua!
Bagi lelaki beriman, nasihat bini macam begitu barangkali bisa dipatuhi suami secara konsekuen. Tapi bagi Tatang yang Islam-nya saja hanya dalam KTP, beratlah bila harus “gencatan senjata” tanpa sepersetujuan PBB. “Ibarat pemburu, tak boleh nembak di hutan resmi, apa salahnya nembak di hutan liar….?” begitu tekad Tatang kemudian.
Akhirnya solusi gila itu betul-betul diterapkan. Diam-diam Tatang menjalin asmara lagi dengan cewek lain. Tongkrongan lelaki warga Kampung Jeding, Subang Kota ini memang lumayan, sehingga dalam waktu singkat dia sudah memperoleh “termos” cadangan. Nah, bersama Widya pacar gelapnya tersebut dia menuntaskan segala nafsu yang selama ini tak bisa lagi diperolehnya di rumah.
Rupanya Tatang memang lelaki paling nekad sekota Subang. Bagaimana tidak? Ketika istrinya minta izin mau melahirkan di Garut tempat asalnya, dia senangnya bukan main. Hari itu juga bininya langsung diantar ke Banyuresmi, dan sekembalinya dari sana kebebasan semakin diperoleh. Artinya, Tatang kini sudah berani membawa Widya ke rumah kontrakannya untuk dikeloni sepuasnya.
Untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Seperti pada Rabu 14 Februari kemarin dulu, ketika para ABG pada berkasih-kasihan merayakan Valentine Day, Tatang – Widya juga berkasih-kasihan di ranjang. Karena suara ah uh ah uh itu bikin ngiri, ada warga yang mengintipnya. Lho, kok bukan dengan Ninih istrinya? Pak RT pun dilapori, dan pasangan mesum tersebut digerebeg. Untung saja sebelum dilaporkan ke polisi, Tatang berjanji siap menikahi Widya. “Poligami kepepet nggak apa, yang penting tak ada lagi fitnah. Betul tidaaaak?” kata Tatang sok niru Aa Gym saja.
“Mengamankan” Bini Satpam
Dosa apa yang pernah dilakukan Sopan, 42 tahun, satpam dari Karawang ini? Di kala sibuk kerja mengamankan asset komplek perumahan, bini di rumah malah “diamankan” lelaki lain. Sudah 7 bulan Rahma, 37 tahun, bininya diselingkuhi Khanofi, 53 tahun, seorang PNS. Bahkan belakangan, istri yang telah memberi dua anak itu dilarikan dan dikeloni di rumah kontrakan Telukjambe.
Enak nggak enak memang punya bini cakep. Enaknya, bini cakep kan selalu nyaman dipandang dan asyik digoyang. Ibarat nasi, meskipun sebetulnya rasa sama saja, tapi ketika ditaruh pada piring kembang kan jadi lebih menarik. Akhirnya, sebagai suami, ketika menyantap “nasi” tersebut tentu menjadi lebih bergairah dan bersemangat.
Walaupun begitu, harus disadari bahwa bini cakep suka mengundang masalah. Soalnya, kecantikan istri sering kali membangkitkan selera lelaki lain. Di sini pula tidak enaknya. Jika bini telah menjadi incaran orang, suami bisa makan hati. Apa lagi bila pihak istri yang dicintai tersebut menanggapi “serangan” dari luar. Ini pertanda bakal wes hewes hewes, bablas……bojone!
Itu pula lakon yang tengah dialami oleh Sopan, seorang satpam di kompleks perumahan Bukit Indah Cikampek. Awalnya, dia bangga betul beristrikan Rahma yang cantik macan Rahma Sarita penyiar Metro TV itu. Bodi dan perkulitannya sama, bodas ngeplak (putih bersih) juga. Kalau ada bedanya, Rahma Sarita selalu muncul di tipi, sedangkan Rahma bininya Sopan selalu…..jualan kopi!
Istri Sopan sehari-harinya memang jualan atau buka warung kopi di rumahnya, kampung Rawasari, Jomin Barat, Karawang. Soalnya ya itu tadi, bini cakep bila tak didukung finansial yang memadai juga repot. Jika mau berkata sejujurnya, gaji Sopan sebulan sesungguhnya tak cukup untuk beli piranti make up istrinya, agar selalu tampil mencorong dan kinclong. Apapun alasannya, kecantikan memang butuh perawatan.
Nah, karena gaji Sopan memang tak besar, Rahma harus rela ikut banting tulang mencari duit. Sesuai kemampuan dan modal yang dimiliki, tak ada lain ya buka warung kopi itu tadi. Dan lagi lagi, berkat kecantikan Rahma, warung kopi itu laris manis. Maklum, mereka tak sekadar minum kopi, tapi bisa menikmati kecantikan Rahma. “Sekarang nyeruput kopinya, siapa tahu nanti bisa nyeruput bibir pemiliknya,” bisik para tamu ketika merenda khayal.
Salah satu pelanggan warung Rahma adalah Khanofi, seorang PNS yang tinggal di Kandiwa, Klari. Bila dia sedang ngopi di situ, lagaknya macam seniman Senen tahun 1960-an. Ngopinya hanya segelas, duduknya berjam-jam. Tapi motifnya bukan karena nunggu dibayari orang, melainkan karena Khanofi ingin berlama-lama menatap wajah si putri jelita. Ngobrol ngalor ngidul, srupat sruput minum kopi, tangan juga jowal-jawil.
Pendek kata, minum kopi hanya sekadar alat Khanofi untuk mendekati bini Sopan. Rahma sendiri awalnya juga risih dengan sikap oknum PNS itu. Habis dia kalau menatap dirinya seperti kucing lihat bandeng presto, mau dikremus sampai ke tulang-tulangnya. Bila membayar atau menerima kembalian, Khanofi selalu berusaha meremas tangan mulus Rahma. Kalau sudah begini, Rahma hanya bisa mendesis: ih….dasar!
Ih dasar, ih dasar; itulah kata-kata yang selalu dirindukan Khanofi. Maka bila situasinya mantap terkendali, dia makin getol menggoda Rahma. Akhirnya, betapapun awalnya wanita itu mencoba berkelit dari rayuan oknum PNS tersebut, ketika pendekatan itu juga sampai soal keuangan, Rahma pun menyerah. Buktinya dia mau diajak pergi, dan kemudian di sanalah dia bertekuk lutut dan berbuka paha untuk Khanofi.
Rahma tak kuasa lagi atas sosoran Khanofi. Aset miliknya yang selama ini mutlak hanya untuk Sopan suaminya, kini mulai dibagi-bagi pula untuk Khanofi. Dan Rahma memang harus pandai-pandai mengatur menejemen syahwat berbasis selingkuh tersebut. Di kala suami tengah bekerja sebagai satpam, Khanofi boleh kerja lembur (lempengin burung) di rumah. Tapi bila suami di rumah, oknum PNS itu duduk manis sebagai pengunjung warung kopi.
Agaknya Khanofi makin asyik saja mengencani bini Sopan. Bahkan dia kemudian bertekad membawa lari Rahma. Konyolnya, ibu beranak dua ini menurut saja. Maka sudah beberapa minggu ini dia tega meninggalkan suami dan anak-anaknya, untuk kelonan dan berselingkuh dengan Khanofi. Di sebuah rumah kontrakan di Telukjambe, keduanya selalu berbagi cinta dan asmara. Khanofi-Rahma sudah kadung lupa diri!
Sopan sebagai suami Rahma tentu saja kelimpungan ditinggal istri tanpa berita. Selidik punya selidik, ternyata bininya memang dilarikan dan disembunyikan oleh Khanofi. Uniknya, ketika ketahuan oknum PNS itu anteng-anteng saja. Penyelesaaian secara kekeluargaan yang semula disepakati, ternyata hanya retorika dan wacana belaka. Terpaksalah Sopan kemudian membawa kasus ini ke Polres Karawang. Tuduhannya: bawa lari bini orang.
Iman Khanofi goyang gara-gara goyang Karawang!
Subscribe to:
Posts (Atom)