Thursday, April 3, 2008
Benarkah Istri "Lembur"?
Apes banget nasib Sudi, 40 tahun, sebagai suami. Setelah bininya naik pangkat, dia malah jarang bisa “naik”. Dina, 33, selalu beralasan capek lantaran kesibukan di kantor. Akibat alasan tersebut telah menjadi rutinitas, Sudi pun curiga bahwa kata “lembur” bagi istrinya tak lebih hanyalah “lempengin burung” bersama lelaki lain. Cemburu beratlah kepala rumahtangga dadi Sunter ini, dan rotan kemoceng pun mendarat berulang-ulang ke tibuh Dina.
Tak bisa dipungkiri bahwa karier istri yang melejit, lebih tinggi pangkatnya dari suami, membuat sang suami jadi minder. Itu pula kini yag dialami Sudi. Dia yang hanya pegawai swasta di kantor kecil, pangkatnya tak pernah jelas. Kabag bukan kasie juga tidak. Gajinya pun lumayan kecil, sehingga ketika dia mau menyerahkan amplop gaji pada istri, Dina malah menolak. “Sudah itu buat sampeyan jajan dan beli rokok saja,” kata bininya.
Istrinya sampai ngomong begitu, karena dia merasa sudah bisa mencukupi kebutuhan keluarga, dan Dina pun ingin memanjakan suami tercinta sepanjang kemampuannya. Tapi bagi suami yang punya moral, justru kalimat istrinya tersebut membuat Sudi merasa tak dihargai. Dia merasa tak dibutuhkan sebagai kepala keluarga. Keberadaannya dalam keluarga sekadar buat asesoris atau pemantas saja. “Kalau pilkada, kamu itu sekadar penggembira saja,” begitu kata hati nurani Sudi.
Karena sang istri dari bulan ke bulan, bahkan dari tahun ke tahun terus “memanjakan”-nya, Sudi menjadi merasa kecil di mata istri. Lebih-lebih ketika Dina naik pangkat di kantornya menjadi kepala bagian (Kabag), Sudi merasa semakin terbanting posisinya dalam rumahtangga. Coba bayangkan, setelah Dina istrinya jadi kepala bagian, dia di rumah nyaris tak “kebagian”.
Akibat kariernya yang melejit, tanggungjawab yang diemban Dina juga menjadi semakin besar. Dia tak bisa lagi datang jam 08.00 dan pulang kantor jam 16.00 tit. Urusan kantor yang tambah melebar, membuat dia suka kerja lembur sampai jam 22.00 malam. Tiba di rumah baru pukul 23 paling cepat. Badan capek dan ngantuk, sehingga begitu sampai langsung tidur. “Celaka, bini naik pangkat malah saya nggak bisa “naik”….,” begitu keluh Sudi.
Harap diketahui, dalam usia 40 tahun kini Sudi ini memang baru mengalami puber kedua. Jadi urusan libido dan persyahwatan, dia lumayan tinggi. Sayangnya, Dina yang semakin sukses, tak bisa memamahami aspirasi arus bawah suami. Jika malam-malam dicolek Sudi, dia beralasan ngantuk dan capek, diminta bersabar sampai besok saja. Tapi pagi harinya, Dina sudah buru-buru mau ke kantor. Jadi durasi untuk bermesraan pun pendek sekali, persis iklan teve.
Gagasan Sudi pernah terlontar, meminta istri berhenti bekerja. Dengan demikian Dina murni menjadi nyonya rumah, yang kegiatannya hanyalah di dapur, tempat tidur, arisan, pengajian malem Jumat, kondangan, bezuk orang sakit, dan belanja ke pasar. Tapi wacana itu tak pernah disampaikan, karena menyadari gajinya sendiri tak mencukupi untuk keluarga. Sudi juga takut dibalikin oleh istri. “Aku disuruh di rumah, amit-amit. Memangnya gaji sampeyan cukup buat keluarga, apa?” begitu kata-kata yang sangat ditakutkan Sudi.
Enak di Dina tapi sangat tak nyaman bagi Sudi, sehingga dia pun mulai bercuriga ria. Jangan-jangan istrinya males melayani di ranjang, karena sudah terpuaskan di luar. Kalau demikian halnya, lembur yang selama ini dijadikan alasan tradisional, sesungguhnya tak lebih kepanjagan kata: lempengin burung. Masalahnya sekarang, burung siapa yang dilempengin Dina istrinya. Ini yang perlu diusut.
Lalu Sudi pun menginterogasi sekaligus menuduh istrinya bahwa selama ini pasti bermain selingkuh. Namun Dina tak pernah mengaku, bahkan menjamin bahwa hanya ada satu lelaki di hatinya, yakni Sudi sendiri. Tapi bagaimana membuktikannya, wong perempuan tak dipasangi speedometer, sehngga ketahuan sampai kilometer berapa dipakai. Sedangkan kalaupun ada, jika niat selingkuh memang ada, dicopot kabelnya juga tak ketahuan. Begitu saja kok repot!
Istri tak mau ngaku, tapi Sudi yakin benar Dina selingkuh. Akhirnya emosi pun naik. Rotan tangkai kemoceng pun dipukulkan berulangkali sehingga tubuh istrinya bilur-bilur. Ini bukan hanya sekalim, langganan. Setiap sang istri pulang telat dengan alasan lembur, pastilah senjata kemocengnya bicara: pletak, pletak, pletakkkk! Dina hanya bisa menangis tanpa bertindak, karena habis memukuli Sudi lalu minta maaf.
Sabar itu memang ada batasnya, sehingga karena pukulan kemoceng sudah menjadi budaya suaminya, Dina tak tahan lagi. Beberapa hari lalu dia nekad melapor ke Polres Jakarta Utara, minta Sudi ditangkap atas pelanggaran KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Lebih dari itu, Dina juga ingin cerai saja, mumpung anak baru satu ini. Bahkan dengan status barunya, siapa tahu banyak orang top yang mau mengambilnya sebagai bini kedua.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment